Pada awalnya, semua tradisi itu merupakan ide dan cetusan yang bertujuan pada satu hal yaitu kemajuan dan ciri khas. Tradisi yang saya maksud di sini bukanlah tradisi budaya atau agama. Namun, lebih kepada sebuah ide yang dijadikan patokan untuk diteruskan dan diturunkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Ide itu pasti berawal dari sebuah permasalahan dan muncul solusi yang dikira saat itu mampu untuk menyelesaikannya.
Sudah berulang kali saya atau mungkin Anda mengikuti sebuah
tradisi yang biasa disebut pembinaan atau kaderisasi pada
awal kita menjadi bagian baru dari sebuah institusi. Saya yakin
bahwa pencetusnya bertujuan
untuk menanamkan karakter dan
nilai.
Namun, saya rasa kita perlu meninjau dan observasi kembali akan tradisi yang pernah kita jalani atau bahkan menjadi bagian dari kehidupan kita itu. Pembinaan melalui sistem kaderisasi atau masa orientasi yang kita jalankan kini mungkin memiliki tujuan yang sama seperti para pencetusnya. Namun, pertanyakan kembali bagi kita yang mengikuti ataupun pembuat sistem itu. Bagi peserta, hal itu mungkin akan membantunya untuk peserta. Namun, bagi sebagian lagi, mereka akan terus mempertanyakan esensi dari semua yang mereka jalani. Akankah mereka yang membuat sistem itu benar-benar berniat untuk membina atau untuk prestise semata. Atau mungkin kita semua hanya pengikut sejati baik peserta maupun penyelenggara. Terkadang kita akan selalu mencaci perlakuan yang harus kita terima untuk mendapat nilai dan karakter itu karena ketidakadilan atau tidak adanya transparansi ataupun pembuktian omongan. Namun apa yang terjadi ketika waktu berlalu dan mereka yang mencaci dihadapkan pada tradisi itu lagi sedangkan pada saat itu mereka yang harus melanjutkannya sebagai tradisi. Tak jarang mereka yang mencaci tidak mampu membawa perubahan pada tradisi itu. Kita terlalu takut untuk merenovasi tradisi yang ada. Semuanya akan kembali dipertanyakan ke dalam nurani masing masing.
Apakah semua yang dilakukan dilandaskan oleh ketulusan dan keikhlasan niat?
Apakah esensi itu tetap ada pada tradisi yang terus menerus berulang entah itu dievaluasi atau malah mengalami pergeseran niat?
Apakah kita bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah tercaci oleh mulut kita atau malah kita akan berada pada posisi cacian itu?
Ekspresikan diri sesuai keinginan dan passion kita masing masing. Kita mungkin harus mengikuti tradisi itu untuk mencapai passion kita meski pahit dan bertentangan dengan prinsip kita. Cukup kita berkecimpung pada tradisi yang tidak kita nikmati sekali dan berinovasilah agar tradisi itu tidak lagi menjadi cacia. Karena zaman sekarang sangat sulit mencari orang yang tulus dan mengerjakan sesuatu tanpa harap kebanggaan dan prestise. Mari sejenak observasi kembali dan mencari esensi
Sudah berulang kali saya atau mungkin Anda mengikuti sebuah
tradisi yang biasa disebut pembinaan atau kaderisasi pada
awal kita menjadi bagian baru dari sebuah institusi. Saya yakin
bahwa pencetusnya bertujuan
untuk menanamkan karakter dan
nilai.
Namun, saya rasa kita perlu meninjau dan observasi kembali akan tradisi yang pernah kita jalani atau bahkan menjadi bagian dari kehidupan kita itu. Pembinaan melalui sistem kaderisasi atau masa orientasi yang kita jalankan kini mungkin memiliki tujuan yang sama seperti para pencetusnya. Namun, pertanyakan kembali bagi kita yang mengikuti ataupun pembuat sistem itu. Bagi peserta, hal itu mungkin akan membantunya untuk peserta. Namun, bagi sebagian lagi, mereka akan terus mempertanyakan esensi dari semua yang mereka jalani. Akankah mereka yang membuat sistem itu benar-benar berniat untuk membina atau untuk prestise semata. Atau mungkin kita semua hanya pengikut sejati baik peserta maupun penyelenggara. Terkadang kita akan selalu mencaci perlakuan yang harus kita terima untuk mendapat nilai dan karakter itu karena ketidakadilan atau tidak adanya transparansi ataupun pembuktian omongan. Namun apa yang terjadi ketika waktu berlalu dan mereka yang mencaci dihadapkan pada tradisi itu lagi sedangkan pada saat itu mereka yang harus melanjutkannya sebagai tradisi. Tak jarang mereka yang mencaci tidak mampu membawa perubahan pada tradisi itu. Kita terlalu takut untuk merenovasi tradisi yang ada. Semuanya akan kembali dipertanyakan ke dalam nurani masing masing.
Apakah semua yang dilakukan dilandaskan oleh ketulusan dan keikhlasan niat?
Apakah esensi itu tetap ada pada tradisi yang terus menerus berulang entah itu dievaluasi atau malah mengalami pergeseran niat?
Apakah kita bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah tercaci oleh mulut kita atau malah kita akan berada pada posisi cacian itu?
Ekspresikan diri sesuai keinginan dan passion kita masing masing. Kita mungkin harus mengikuti tradisi itu untuk mencapai passion kita meski pahit dan bertentangan dengan prinsip kita. Cukup kita berkecimpung pada tradisi yang tidak kita nikmati sekali dan berinovasilah agar tradisi itu tidak lagi menjadi cacia. Karena zaman sekarang sangat sulit mencari orang yang tulus dan mengerjakan sesuatu tanpa harap kebanggaan dan prestise. Mari sejenak observasi kembali dan mencari esensi
Komentar
Posting Komentar