Ada kisah di balik ketegaran. Di balik kesabaran atas kejenuhan, di balik senyuman yang ternyata menyimpan berjuta paksa ego agar tak melunjak. Ada banyak hal yang membingungkan ketika seseorang telah mengambil rencana hidupnya ke depan. Terutama ketika menginjak fase mahasiswa.
Banyak tokoh manusia yang menggugah semangat, tapi mungkin hanya sejenak. Ada beberapa kelompok manusia yang memilih untuk merencanakan hidup yang sederhana dan bersahaja. Kelompok mereka yang memegang prinsip khas : "bukan mengejar nilainya, tapi mengejar ilmunya. Kalau sudah pasti paham maka nilainya pun pasti akan mengikuti". Mereka berpikiran untuk menekuni bidang kuliah yang telah menjadi pilihan. Kemudian, berusaha keras untuk memahami setiap titik topik yang ingin mereka perhatikan tanpa terlewati. Selanjutnya, pemahaman memberikan imbalan yang menarik, dengan nilai A atau AB di setiap mata kuliah. Perjuangan keras tiap malam hanya untuk memahami bukan untuk meraih IPS atau IPK cumlaude, hal itu hanya sebagai hadiah bonus. Namun, bagaimana dengan mereka yang belum mendapat bonus tersebut? Sebagian berpikiran IPS/IPK tinggi sebagai manusia yang hanya mengejar poin atau study oriented.
Selanjutnya sebagian mereka yang memperoleh IPS/IPK bagus, ternyata melakukan dan memikirkan hal lainnya. Mereka tertarik dengan berorganisasi dengan orang-orang baru, memperbaiki satu per satu hal yang kurang pas pada tempatnya. Namun, lingkungan terkadang menyebalkan. Beberapa manusia yang senang mengikuti lomba membuat mereka iri, merasa pilihannya kurang tepat. Kemudian muncul pikiran-pikiran bahwa dia juga harus bisa berprestasi melalui karya tulis dan lain-lain. Padahal sebenarnya, itu bukan keinginan mereka, bahkan bukan minat mereka. Pilihan mulai goyah dengan banyaknya isu tentang karier yang bagus jika memiliki prestasi berupa kemenangan. Terkadang fakta dan kondisi seperti ini sering mematikan jati diri. Menghilangkan tujuan awal. Membuat seseorang menjadi manusia seperti kebanyakan, tanpa diferensiasi.
Ada juga yang tidak ingin hal terlalu besar, sederhana saja. Menyelesaikan kuliah secepatnya dengan pemahaman terbaik yang dimampu, kemudian kembali ke tanah kelahiran untuk berkarier di sana dan berada di lingkungan keluarga. Atau mereka yang memilih kembali agar dapat selalu berada dan menikmati perjalanan menua dari kedua orang tuanya, mungkin karena mereka hanya 2 bersaudara atau anak tunggal. Kemudian pikiran tak jelas kembali meracau, melihat mereka yang mampu berkarier di tanah rantau dengan imbalan gaji yang cukup besar dan mampu membeli ini itu dan berlibur sana sini. Seolah uang mampu memberikan kebahagiaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa uang adalah bukti fisik hasil pekerjaan, tapi kadang uang juga yang menyingkirkan pemikiran bahwa berada selalu di sekitar orang tua juga merupakan bentuk suksesnya hati untuk menyayangi kedua orang tua. Melanjutkan hidup dengan sederhana asalkan mampu berada di antara orang terkasih dan bermanfaat untuk orang-orang terdekat.
Setidaknya itu opini yang saat ini ingin aku ungkapkan. Terkadang aku pun juga goyah dengan alur yang sudah kurencanakan dan kupilih karena pandangan orang kebanyakan, padahal probabilitasnya tidak pasti. Bagaimana menurutmu??? Kalau punya opini silahkan komentar di bawah ini atau hubungi aku melalui media sosial yang ada, misalnya instagram (diajenganjarsari)....
Banyak tokoh manusia yang menggugah semangat, tapi mungkin hanya sejenak. Ada beberapa kelompok manusia yang memilih untuk merencanakan hidup yang sederhana dan bersahaja. Kelompok mereka yang memegang prinsip khas : "bukan mengejar nilainya, tapi mengejar ilmunya. Kalau sudah pasti paham maka nilainya pun pasti akan mengikuti". Mereka berpikiran untuk menekuni bidang kuliah yang telah menjadi pilihan. Kemudian, berusaha keras untuk memahami setiap titik topik yang ingin mereka perhatikan tanpa terlewati. Selanjutnya, pemahaman memberikan imbalan yang menarik, dengan nilai A atau AB di setiap mata kuliah. Perjuangan keras tiap malam hanya untuk memahami bukan untuk meraih IPS atau IPK cumlaude, hal itu hanya sebagai hadiah bonus. Namun, bagaimana dengan mereka yang belum mendapat bonus tersebut? Sebagian berpikiran IPS/IPK tinggi sebagai manusia yang hanya mengejar poin atau study oriented.
Selanjutnya sebagian mereka yang memperoleh IPS/IPK bagus, ternyata melakukan dan memikirkan hal lainnya. Mereka tertarik dengan berorganisasi dengan orang-orang baru, memperbaiki satu per satu hal yang kurang pas pada tempatnya. Namun, lingkungan terkadang menyebalkan. Beberapa manusia yang senang mengikuti lomba membuat mereka iri, merasa pilihannya kurang tepat. Kemudian muncul pikiran-pikiran bahwa dia juga harus bisa berprestasi melalui karya tulis dan lain-lain. Padahal sebenarnya, itu bukan keinginan mereka, bahkan bukan minat mereka. Pilihan mulai goyah dengan banyaknya isu tentang karier yang bagus jika memiliki prestasi berupa kemenangan. Terkadang fakta dan kondisi seperti ini sering mematikan jati diri. Menghilangkan tujuan awal. Membuat seseorang menjadi manusia seperti kebanyakan, tanpa diferensiasi.
Ada juga yang tidak ingin hal terlalu besar, sederhana saja. Menyelesaikan kuliah secepatnya dengan pemahaman terbaik yang dimampu, kemudian kembali ke tanah kelahiran untuk berkarier di sana dan berada di lingkungan keluarga. Atau mereka yang memilih kembali agar dapat selalu berada dan menikmati perjalanan menua dari kedua orang tuanya, mungkin karena mereka hanya 2 bersaudara atau anak tunggal. Kemudian pikiran tak jelas kembali meracau, melihat mereka yang mampu berkarier di tanah rantau dengan imbalan gaji yang cukup besar dan mampu membeli ini itu dan berlibur sana sini. Seolah uang mampu memberikan kebahagiaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa uang adalah bukti fisik hasil pekerjaan, tapi kadang uang juga yang menyingkirkan pemikiran bahwa berada selalu di sekitar orang tua juga merupakan bentuk suksesnya hati untuk menyayangi kedua orang tua. Melanjutkan hidup dengan sederhana asalkan mampu berada di antara orang terkasih dan bermanfaat untuk orang-orang terdekat.
Setidaknya itu opini yang saat ini ingin aku ungkapkan. Terkadang aku pun juga goyah dengan alur yang sudah kurencanakan dan kupilih karena pandangan orang kebanyakan, padahal probabilitasnya tidak pasti. Bagaimana menurutmu??? Kalau punya opini silahkan komentar di bawah ini atau hubungi aku melalui media sosial yang ada, misalnya instagram (diajenganjarsari)....
Tulis lagi dong kak, cerita cerita galaunya.
BalasHapusWahhh, ternyata abang baca juga, 6 jan. Ditunggu aja ya
Hapus