Aku tidak pernah tahu akan berakhir seperti ini. Di ujung usaha kita untuk menjalin pertemanan yang sesungguhnya. Entah apa yang ada di pikiranmu, atau suara-suara sumbang membuatmu berpikir itu benar tanpa pernah mengkonfimasi padaku. Aku tahu ada dinding yang sudah kurubuhkan, tapi kemudian aku sadar kesalahan itu. Aku berusaha mengembalikan dinding itu, hingga hampir selesai. Namun, dirimu terlanjur hilang tanpa bahasa dan kata. Rasanya muak sekali melakukan hal yang tak ada timbal baliknya. Meskipun dahulu semua terasa sesuai dan selaras denganmu. Jiwaku tak lagi rapuh.
Entah harus mulai dari mana, aku pun tak tahu. Rasa penasaran itu terkadang masih saja datang menghampiri. Penasaran mengenai alasanmu pergi, ucapan kata yang sempat terasa kasar, dan balasanmu yang tak lagi seperti welcome, serta perasaanmu padaku atau kau anggap aku apa. Aku sadar betul dalam mengenalmu. Padamu, aku pernah merasa. Karenamu, aku belajar menjadi lebih dewasa. Untukmu, aku berani kembali percaya. Adanya kamu, membuatku sadar bahwa masih saja ada misteri di antara kita.
Tak banyak yang aku harap saat ini atau mungkin aku tak akan pernah berharap pada manusia mana pun. Aku hanya ingin persahabatan kita kembali. Meski mungkin bagimu, kenyamanan yang hadir akan menjadi momok yang menakutkan karena mungkin kau tak bisa temukan yang sesuai inginmu. Sadarilah, jika kau mencari cinta untuk temani sisa hidupmu, itu mungkin bukan aku. Sebab saat ini pun aku tidak menginginkanmu menjadi imamku karena ada hal lain yang aku inginkan untuk menemani sisa hidupku di dunia. Jika aku boleh berimajinasi, aku ingin ada saat ku mengunjungi rumahmu untuk beramah tamah dengan istri dan anakmu. Begitu pula dengan suami dan anak-anakku kelak, dapat bermain dan berbagi cerita bersama keluargamu.
Bukan aku tidak mensyukuri lingkungan baruku sekarang. Lihatlah, justru semenjak rasa sakit hati yang kau tinggalkan akibat kepergianmu, aku berani membuka diri, menemukan sahabat-sahabat baru. Sahabat wanita yang bisa membuatku nyaman dan ada saat ku butuh. Sahabat pria juga ada, tapi kita cukup dewasa untuk tahu ada dinding yang tak boleh dihancurkan. Denganmu, kedewasaan untuk menghadapi dinding itu menjadi membingungkan karena perubahanmu.
Kau harus tahu, meski hatiku pernah tertambat dalam padamu, aku tidak akan mengekangmu. Semua rasaku sudah hilang seiring berjalannya waktu meski kenangan itu tak mudah dihapuskan. Jadi, tolong maafkan ku jika kenangan itu tetap ada. Maafkan hadirku dulu yang mungkin kini malah membuatmu susah, entah susah karena banyak rumor di luar sana atu mungkin kau pernah merasakan yang sama.
Aku masih mendoakan yang terbaik untukmu sekarang, meski tak satu ucap kalimat bersifat doa yang pernah kau ucapkan. Janjimu masih bersemayam rapi di dalam bukuku, menanti untuk terwujud. Semoga kelak ada waktu untuk kita mendiskusikan semuanya dan mengklarifikasi segalanya. Meskipun pada akhirnya, semua harus berakhir. Setidaknya semua jelas untuk kita.
Salam dari "Mantan Sahabatmu"
Dari Surabaya
Tolong berikan penilaian (skala 1-10 tertinggi)
1. Kesederhanaan
2. Kedalaman emosi
Komentar
Posting Komentar