Terkadang kita suka sekali mengoceh, mengomeli takdir yang sudah terjadi. Atau menyalahi diri sendiri akibat kegagalan yang sudah diberikan. Atau terkadang kita lupa mengapresiasi diri karena terlalu sibuk membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Mungkin tidak bermaksud untuk membandingkan, tapi bagaimana kalau hal tersebut dicapai oleh orang terdekat kita. Sementara setelah ke sekian kali kita mencoba, tak dapat memperoleh hal tersebut.
Di dunia yang semakin berkembang, entah menjadi biadab atau teradab, manusia dihadapkan dengan heterogenitas tanpa batas. Di satu waktu, ada 5 variasi, sementara di waktu yang lain terdapat 7 variasi. Variasi yang menyebabkan terjadi variabilitas sehingga mau tidak mau akan memunculkan kompleksitas. Kemudahan teknologi mampu memperdaya kemampuan manusia, entah untuk sesuatu yang berfaedah atau lawan katanya. Informasi menyebar terlalu cepat sampai-sampai kita lupa melakukan verifikasi kebenaran dan validasi kejadiannya. Semua orang bebas menyuarakan aspirasi, mengekspresikan diri, mempertontonkan apa saja yang ingin dipertontonkan. Sampai-sampai kita digerogoti hawa nafsu untuk selalu memuaskan rasa ingin tahu yang memiliki ujung bercabang. Apa yang tidak dapat kita peroleh dengan media sosial yang berkembang adalah sesuatu yang mahal. Namun, terkadang kita lupa memberi harga untuk diri kita sendiri dan privasi yang masih dibutuhkan. Sebagian orang meng-upload untuk menghilangkan bosan. Sah? ya sah sah saja. Beberapa orang kemudian ketagihan mengirimkan segala sesuatu yang dianggapnya indah tanpa suatu tujuan jelas yang mungkin oleh sebagian orang dikategorikan "pamer/jumawa". Atau sebagian lagi senang membagikan aktivitas yang dilakukannya hingga banyak orang yang mengetahui kegemarannya. Di sinilah harga dari suatu momen akan ditentukan dan memiliki nilai yang berbeda oleh setiap pelakunya.
Kita lupa bahwa pemandangan yang bagus akan bermanfaat untuk menyegarkan mata dan me-refresh kondisi akal. Kita lupa bahwa di detik tersebut jiwa kita berada di suatu tempat dan bagaimana caranya merasakan detik tersebut sehingga dapat dinikmati oleh akal kapan saja. Atau dinikmati oleh jiwa kala bosan atau masalah mengimpit. Pada kenyataannya, kita terlalu senang untuk mengabadikan sebagai langkah pertama kemudian mengunggahnya. Kemudian kita sibuk dengan kualitas digital momen tersebut, hingga kita lupa bahwa kita tidak punya banyak waktu. Kita mungkin tidak punya kesempatan tersebut di suatu masa. Kita lupa harga kelelahan yang akan kita sembuhkan dengan perjalanan memanjakan jiwa. Atau memang bagi sebagian orang, mengungggah hal tersebut adalah obatnya memulihkan jiwa. Bagaimana kalau kita sejenak menikmati kemudian ambil spot atau gambar terbaik yang dapat memasukkan momen tersebut sehingga dapat dinikmati kembali suatu saat. Barulah foto itu dapat dipergunakan semaunya setelah kembali dari perjalanan. Kita lupa bahwa nurani kita pun butuh privasi atas apresiasi atau pengobatan yang kita lakukan terhadap jiwa kita.
Sebagian kenangan yang tercipta akan mudah hilang jika tidak diabadikan melalui suatu bentuk fisik atau digital. Ya, benar. Namun, adakah suatu wujud fisik atau digital dari suatu kenangan yang kemudian berasa tak berarti karena kita tidak benar-benar menikmati momen tersebut? Tentu ada. Dari situlah muncul foto-foto yang dengan mudahnya kita delete atau terbuang. Cendramata yang begitu mudah rusak tak diperhatikan. Namun, coba bayangkan dengan suatu barang kecil yang diberikan oleh seseorang yang pernah hadir dan berarti yang kemudian seseorang tersebut pergi karena suatu alasan. Barang tersebut secara tak sengaja pasti akan tersimpan di suatu tempat yang meskipun tidak dilihat setiap waktu, barang tersebut memiliki tempat yang dapat dirujuk kembali. Sekarang, kita seharusnya patut menanyakan seberapa berharga momen demi momen atau setiap aktivitas yang telah kita lakukan.
Berbicara tentang privasi, mungkin kita sedikit lupa akan fungsi dari media sosial atau media berkomunikasi yang sejatinya membantu kita untuk berkomunikasi dan berbagi hal yang bermanfaat. Kita lupa dengan fungsi primer dari media tersebut atau kita terlalu asyik dengan fungsi sekundernya sehingga kita lupa kebutuhan primer dari diri kita untuk berkembang dan mengenal orang lain secara riil. Kita membiarkan dunia tahu siapa yang kita sayangi tanpa filter, mengetahui siapa yang ada di lingkaran kita, atau mungkin ternyata kita membiarkan dunia melakukan dugaan tak berfakta berdasarkan data diri yang secara berkala kita unggah. Kita senang sekali melupakan hal-hal fundamental kecil seperti ini. Memperhatikan keresahan sosial yang sebenarnya terasa, tapi mencoba mengabaikan dan melepaskan diri mengikuti arus yang berjalan. Padahal, sejatinya kita harus menentukan arah mana yang akan kita pilih pada arus tersebut karena pasti akan bermuara pada suatu aliran lainnya.
Hal lain yang mungkin juga aku alami adalah kita semakin hari akan semakin belajar menghadapi ketidakpastian yang semakin besar dan diiringi oleh keraguan yang hadir tanpa hipotesa. Kita memilih suatu jalan yang ternyata ada banyak kaitan dengan faktor eksternal yang cukup sulit untuk dikelola. Kemudian, kita lupa mempertimbangkan bahwa setiap faktor eksternal tersebut akan membawa ketidakpastian masing-masing terhadap sesuatu yang kita kerjakan. Alhasil, ketika jiwa berada pada posisi yang tidak cukup tangguh, maka muncullah keraguan. Keraguan ini justru kadang bukan pada hal-hal yang akan terjadi, tapi justru terhadap kemampuan diri. Kita membuat diri kita harus mengenal kembali bagaimana sejatinya. Dengan mengabaikan dukungan eksternal, sesungguhnya dukungan internal justru harus diciptakan terlebih dahulu. Meskipun sebenarnya dukungan eksternal tersebut cukup mempengaruhi kualitas motivasi yang kita bangun. Namun, semakin dewasa jiwa kita dan keberadaaan kita di lingkungan yang heterogen, sangat sulit untuk menemukan dukungan eksternal yang kontinu dan berpengaruh serta tidak monoton. Kita senang sekali berharap ada yang seperti A, B, C... tapi nyatanya tidak ada yang sesempurna itu. Atau ketika ada dukungan eksternal tersebut, kita lupa bahwa dukungan itu ada loh, tapi tidak berasa karena mungkin caranya yang tidak berpengaruh, tidak ada ketulusan, atau bosan dengan hal-hal yang begitu saja. Sering sekali gelisah atau resah sendiri menjadi penyakit ketika kondisi bosan bertumpuk dengan rendahnya semangat diri sehingga kita terlalu sibuk resah dan lupa apa obatnya.
Sebagai penutup, apresiasi perlu kita ciptakan. Target perlu ditetapkan. Namun, "judgement" mungkin perlu dievaluasi. Ketika sudah menetapkan target seharunya kita tahu indikator apa yang perlu dievaluasi dan barulah mengambil kesimpulan. Bukan mengambil kesimpulan, tapi lupa untuk menilai. Melakukan tapi lupa untuk memberi harga dari perlakuan tersebut. Beraksi tapi jangan lupa untuk menetapkan tujuan apa yang ingin diperoleh.
Komentar
Posting Komentar