Perjalanan hidup selalu memberikan kita kejutan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah sekian lama kita dibiarkan tenang dengan kehidupan yang nyaman, kini kita dihadapkan dengan ujian yang sungguh menguji iman, mental, da fisik. Kehadiran virus corona dalam beberapa bulan belakang telah mengubah banyak sisi pada kehidupan kita.
Kehadirannya sempat diragukan karena kita mungkin terlalu optimis dan sombong dengan keistimewaan kita yang berada di garis khatulistiwa. Kita abaikan seolah kita memang lebih kutan. Namun, nyatanya virus tersebut datang dengan caranya dan menjadi ujian yang nyata.
Sudah berbulan-bulan kita terjebak dalam kondisi seperti ini. Sudah begitu banyak korban yang dilumpuhkan bahkan tak sedikit tenaga medis yang meregang nyawa karena kehadirannya. Kehidupan kita pun berubah lebih dari 180 derajat.
Kita sepertinya bingung antara ekonomi atau nyawa yang harus diselamatkan. Menjalankan isolasi dan social distancing secara setengah-setengah. Bahkan tak jarang kita melihat banyaknya manusia yang merasa dirinya kebal dan bertindak sesukanya di dunia nyata ataupun dunia maya.
Begitu banyak masyarakat yang akhirnya kehilangan pekerjaan, tak memiliki proyeksi keuangan yang cukup baik untuk bertahan hidup karena tak akan menduga kejadian seperti ini akan melanda. Begitu banyak manusia yang saling menyalahkan. Tak mampu memilah kewajiban atas kebutuhan primer yang harus dipenuhi, tapi justru mengejar kebutuhan sekunder dan tersier hanya berdasarkan rutinitas.
Pada saat seperti ini, Ramadhan menjadi semakin pilu dan semakin tak ingin rasanya berlalu. Harapan akan bertemu keluarga sudah pupus. Rencana melanjutkan hidup bergeser menjadi mengatur keuangan dan manajemen stres tanpa rekreasi. Keinginan untun mencari pendamping menjadi terasing.
Menata hati dan pikiran agr selalu berada dalam kaidah yang benar. Di tengah himpitan sosial yang diakibatkan oleh virus ini, ternyata ada himpitan dan tekanan lainnya dari pekerjaan. Berdalih melayani tapi lupa bahwa batin ini juga perlu dilayani. Ditekan untuk melakukan ini itu, tanpa mempertimbangkan kelayakan kondisi yang teraman. Mengejar hak dan melakukan kewajiban sesuai yang sebenarnya justru menjadi boomerang di masyarakat karena semua semakin berlomba menunjukkan siapa yang paling sengsara. Semua berteriak tidak adil pada pemimpin. Semua meronta ingin diperhatikan dan ditoleransi atas kewajiban yang seharusnya. Semua berlomba dan menghimpit untuk berada paling depan dalam hal meminta diperhatikan. Memang tidak sepenuhnya salah karena kondisi seperti ini adalah bencana untuk kita semua, tapi kadang ingin juga rasanya berceloteh dan mengadu siapa yang juga sengsara selain mereka
Di kondisi seperti ini, sendiri menjadi satu-satunya solusi. Bercermin dan menilai diri menjadi aktivitas agar mengubah haluan diri menjadi lebih bersahabat dengan lingkungan. Meski berat, tapi menyembunyikannya melalui cerita dan tawa mejadi solusi untuk tidak mengasihani diri terlalu sering. Membeli ini itu cuup sedikit mengalihkan isu terhadap ujian yang selesai pada waktu yang belum dapat ditentukan.
Belajar lebih banyak dan membaca kondisi lebih sering dari sebelumnya telah mengajarkan diri untuk memperbaiki. Melihat kemungkinan perbaikan dan mencoba berpikir lebih panjang terhadap kualitas diri yang jauh dari kata cukup. Meski pada akhirnya akan menghasilkan "saya tidak cukup layak untuk berada di sisi dia/dia/dia". Atau justru kadang menjadi semangat untuk perbaikan diri dan berdoa mendapatkan penggakti yang lebih sekufu dan dapat bervisi sama. Semua itu menjadi keinginan yang dipendam sementara, termasuk beberapa mimpi yang ingin segera diwujudkan harus tertunda. Ini saatnya berpikir dan lebih banyak berbicara dengan diri sendiri agar menemukan langkah mana yang sebenarnya ingin dijalani. Mengerti apa yang terbaik dan perlu diperbaiki. Semoga secepatnya mimpi dapat menemukan jalannya untuk diwujudkan dan imam segera siap untuk akhirnya saling menjemput serta menyatukan visi menuju jalan terbaik-Nya yang bermuara pada surga.
Kehadirannya sempat diragukan karena kita mungkin terlalu optimis dan sombong dengan keistimewaan kita yang berada di garis khatulistiwa. Kita abaikan seolah kita memang lebih kutan. Namun, nyatanya virus tersebut datang dengan caranya dan menjadi ujian yang nyata.
Sudah berbulan-bulan kita terjebak dalam kondisi seperti ini. Sudah begitu banyak korban yang dilumpuhkan bahkan tak sedikit tenaga medis yang meregang nyawa karena kehadirannya. Kehidupan kita pun berubah lebih dari 180 derajat.
Kita sepertinya bingung antara ekonomi atau nyawa yang harus diselamatkan. Menjalankan isolasi dan social distancing secara setengah-setengah. Bahkan tak jarang kita melihat banyaknya manusia yang merasa dirinya kebal dan bertindak sesukanya di dunia nyata ataupun dunia maya.
Begitu banyak masyarakat yang akhirnya kehilangan pekerjaan, tak memiliki proyeksi keuangan yang cukup baik untuk bertahan hidup karena tak akan menduga kejadian seperti ini akan melanda. Begitu banyak manusia yang saling menyalahkan. Tak mampu memilah kewajiban atas kebutuhan primer yang harus dipenuhi, tapi justru mengejar kebutuhan sekunder dan tersier hanya berdasarkan rutinitas.
Pada saat seperti ini, Ramadhan menjadi semakin pilu dan semakin tak ingin rasanya berlalu. Harapan akan bertemu keluarga sudah pupus. Rencana melanjutkan hidup bergeser menjadi mengatur keuangan dan manajemen stres tanpa rekreasi. Keinginan untun mencari pendamping menjadi terasing.
Menata hati dan pikiran agr selalu berada dalam kaidah yang benar. Di tengah himpitan sosial yang diakibatkan oleh virus ini, ternyata ada himpitan dan tekanan lainnya dari pekerjaan. Berdalih melayani tapi lupa bahwa batin ini juga perlu dilayani. Ditekan untuk melakukan ini itu, tanpa mempertimbangkan kelayakan kondisi yang teraman. Mengejar hak dan melakukan kewajiban sesuai yang sebenarnya justru menjadi boomerang di masyarakat karena semua semakin berlomba menunjukkan siapa yang paling sengsara. Semua berteriak tidak adil pada pemimpin. Semua meronta ingin diperhatikan dan ditoleransi atas kewajiban yang seharusnya. Semua berlomba dan menghimpit untuk berada paling depan dalam hal meminta diperhatikan. Memang tidak sepenuhnya salah karena kondisi seperti ini adalah bencana untuk kita semua, tapi kadang ingin juga rasanya berceloteh dan mengadu siapa yang juga sengsara selain mereka
Di kondisi seperti ini, sendiri menjadi satu-satunya solusi. Bercermin dan menilai diri menjadi aktivitas agar mengubah haluan diri menjadi lebih bersahabat dengan lingkungan. Meski berat, tapi menyembunyikannya melalui cerita dan tawa mejadi solusi untuk tidak mengasihani diri terlalu sering. Membeli ini itu cuup sedikit mengalihkan isu terhadap ujian yang selesai pada waktu yang belum dapat ditentukan.
Belajar lebih banyak dan membaca kondisi lebih sering dari sebelumnya telah mengajarkan diri untuk memperbaiki. Melihat kemungkinan perbaikan dan mencoba berpikir lebih panjang terhadap kualitas diri yang jauh dari kata cukup. Meski pada akhirnya akan menghasilkan "saya tidak cukup layak untuk berada di sisi dia/dia/dia". Atau justru kadang menjadi semangat untuk perbaikan diri dan berdoa mendapatkan penggakti yang lebih sekufu dan dapat bervisi sama. Semua itu menjadi keinginan yang dipendam sementara, termasuk beberapa mimpi yang ingin segera diwujudkan harus tertunda. Ini saatnya berpikir dan lebih banyak berbicara dengan diri sendiri agar menemukan langkah mana yang sebenarnya ingin dijalani. Mengerti apa yang terbaik dan perlu diperbaiki. Semoga secepatnya mimpi dapat menemukan jalannya untuk diwujudkan dan imam segera siap untuk akhirnya saling menjemput serta menyatukan visi menuju jalan terbaik-Nya yang bermuara pada surga.
Komentar
Posting Komentar