Tulisan ini saya curahkan dari pengalaman singkat mengunjungi Desa Temulus, Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Semoga kita bisa bersyukur dan semakin bangkit dari kemalasan.
Akhir pekan minggu lalu menjadi saat yang berharga. Melihat kekayaan alam Indonesia yang nyata adanya. Tanah yang subur dan hasil alam yang berlimpah. Namun, kekayaan ini tidak mampu memperkaya jiwa dan hati bangsa. Berhektar-hektar tanah tertanami pohon jati sejak zaman dahulu kala, buah hasil dari tangan nenek moyang. Konflik meregang di kedua pihak. Keterbatasan, kesenjangan, dan keluhan tersimpan rapat di ujung pelupuk mata. Bertani tak lagi bisa menjanjikan hasil. 2,1 juta untuk satu petak sawah yang ditanami dan dipelihara sampai tiga bulan. Namun, tak jarang hasil hanya didapat 1,8 juta. Infrastruktur yang seadanya. Namun, semua kesulitan yang ada tidak patut menjadikan masyarakat di desa itu putus asa.
Berbagai usaha tetap harus dijalankan demi kehidupan yang fana untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Aku melihat anak-anak itu tumbuh dan besar dengan kelegaan hati yang luar biasa. Ketabahan dan senyuman polos mereka yang seolah mengatakan kami baik-baik saja. Mereka tidak menjadi pemberontak, tapi mereka sama seperti anak-anak lainnya yang bertingkah wajar dan tetap sopan disertai tulus.
Belum lagi inspirasi dari kesederhanaan hidup Mbak Anni dan Mas Lukito. Aktivis pejuang keadilan rakyat sekitar hingga harus mengorbankan banyak hal. Namun, kebaikan akan mendapat balasan yang jauh lebih baik, bukan?? Di beberapa pagi, ada saja yang memberikan makanan atau kebutuhan lainnya secara diam-diam. Karena dengan aksi dan tindakan Mas Lukito, masyarakat seolah memiliki tempat untuk bertanya, berlindung, dan harapan yang tentunya diinginkan oleh mereka semua.
Tidak ada yang beda, tapi nilai-nilai baik yang tumbuh itu menjadi kesabaran yang luar biasa. Perpustakaan mini pun telah dibuat. Anak-anak menjadi lebih antusias untuk belajar. Membuka jendela yang belum terbuka.
Masalah-masalah itu sudah bersemayam entah selama berapa tahun. Namun, mereka tetap bertahan di atas tanah mereka. Di atas kekayaan Indonesia yang tidak mampu menjadikan bangsa memiliki kekayaan hati dan jiwa. Di balik keterbatasan kita untuk saling mensejahterakan. Karena bersuara tak mampu meruntuhkan ketidakadilan tanpa kuasa yang kuat. Semua adalah pelajaran dan ujian meskipun kebenaran mungkin saja akan selalu bersembunyi di balik pohon-pohon jati atau di bawah tanah persawahan. Sudah seharusnya kita sadar bahwa apa yang kita miliki saat ini juga merupakan impian bagi mereka. Bersyukur atas segala yang ada. Dengan semua nikmat, maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kau dustakan???
Komentar
Posting Komentar