Malam ini, bulan mencibir bintang yang seolah melemah memancarkan cahaya. Terengah-engah mencoba bekerlip agar terlihat. Meski tidak menutup kemungkinan untuk tiba-tiba menghilang. Sementara Sang Bulan, dengan gagah tersenyum bulat mencoba menyapa siapa pun yang melihatnya. Sang Bintang hampir setengah mati berusaha untuk tetap ada hingga satu per satu teman-temannya muncul. Mencoba memenuhi langit dengan jutaan kerlip cahaya.
Di bawah teduhnya malam ini, gadis itu sedang menyibukkan diri. Jari jemarinya berteman baik dengan satu per satu tombol keyboard pada laptop. Mencoba menyelesaikan tugas yang harus segera diselesaikan. Menjawab satu per satu pertanyaan sebagai bentuk konsekuensi atas pilihan yang telah diambil.
Hari Senin memang menjadi momok tersendiri. Sebab di tengah tenangnya weekend, ada hari yang jauh lebih bersemangat untuk dijemput karena berjuta orang akan punya kepentingan di setiap awal minggu. Memilih untuk hidup di tanah orang memang bukan pilihan yang sulit dan juga bukan pilihan yang enteng. Inilah pilihan yang sudah ditetapkan.
Bertahun-tahun menjalani hidup sendiri telah membuat gadis itu berubah menjadi tangguh. Berjuta kesan yang telah ditinggalkan manusia di setiap masa berhasil mengubahnya menjadi lebih tahan banting. Tepat di zona waktunya saat ini, dilema datang menghampiri.
Masalah menunggu dan bersabar. Mungkin memang benar apabila ada yang berkata "Semua akan indah pada waktunya". Berada jauh dari keluarga, memegang teguh prinsip, dan beradaptasi dengan baik. Namun, nyatanya semua tak semulus kata-kata yang terlontar dari mulut. Jauh beribu kilometer sana, ada sosok yang membutuhkan penguatan. Ada sosok yang membutuhkan telinga yang siap mendengar. Ada mata yang butuh ditatap. Ada kisah yang menanti untuk diceritakan pada orang yang tepat. Ada mata yang ingin saling menatap dan berbagi air mata. Karena waktu terus berjalan, Si Gadis semakin dewasa, investasi kedua orang tua. Dan peran itu dinanti oleh Sang Ibu.
Siapa sangka, kunjungan terakhirnya menyisakan pesan mendalam. Di tengah sendunya malam, tepat seusai sholat maghrib, satu kisah mulai dikisahkan. Tentang permasalahan yang membuat resah Sang Ibu sebagai anak pertama di keluarga. Tentang keinginan yang tertahan, emosi yang terpendam, keluhan yang dirasa tak lagi pantas untuk dikisahkan kepada Sang Suami yang telah banyak menanggung beban. Perlahan ujung pelupuk mata mendamba kesedihan yang tercurah, menjadikannya air mata. Itulah sosok yang menanti peran dewasa Sang Gadis. Berharap dia mampu mengusap kesedihan dan mewujudkan harapan. Setiap kali ingatan itu muncul, waktu terasa berlalu lebih lama dari biasanya.
Di tengah fokusnya, inilah satu dari sekian alasan yang membuatnya bertahan. Karena hidup ternyata hanya permainan belaka, jadi inilah saat untuk Si Gadis terus memperbaiki. Mencoba memanfaatkan setiap celah untuk senantiasa menjadi wanita yang seutuhnya. Tidak ada fokus lain yang menghalanginya untuk mampu menyelesaikan tugas dan tanggung jawab kini. Namun, ada satu hal lagi yang tiba-tiba terlintas dan membawanya pada pertanyaan tak terjawab.
Hari demi hari berlalu. Ini sudah bertahun-tahun dan rasa itu sudah pergi. Lagipula, dia harus menyelesaikan pilihan yang telah diambil. Setelah selama itu, tiba-tiba dia muncul kembali dalam bunga tidur akhir-akhir ini. Bahkan tadi malam, di saat fisik merasa lelah dan ingin diistirahatkan. Dia hadir kembali. Memberikan senyuman indah, menyapa melalui tatapan matanya yang tajam, seolah ingin menyampaikan suatu kata. Anehnya tak sedikitpun kata terucap dalam pertemuan itu.
Pada kesempatan lain, dia kembali hadir dalam kondisi yang berbeda. Kondisi di mana Si Gadis hendak dilamar oleh temannya dari masa lalu, tepat dihadapan laki-laki itu. Dan masih banyak lagi. Memang sudah tidak ada lagi rasa yang tertinggal, tidak ada lagi kenangan yang berkesan, dan lepas simpati tentang apapun berkaitan dengan dia. Jadilah nurani kembali menggejolakkan rasanya. Bukan rasa yang indah, tapi menimbulkan sedikit amarah yang dicemburui benci. Harus diakui olehnya, bahwa laki-laki itu memang berhasil membawanya menjadi lebih baik dan harus diterima bahwa "kita memang berbeda, semua terjadi secara tepat, meski berakhir sebegitu cepat". Jika ada yang berpikir ini adalah tentang mantan, mungkin bisa jadi. Ini lebih tentang dua orang sahabat yang bertamu untuk mendewasakan diri, tapi pada kenyataannya hanya pura-pura dewasa atau mungkin tentang "teman pada saat dibutuhkan saja" atau mungkin tentang "terjebak dalam rasa". Entahlah, tapi jika ini memang tentang persahabatan, seharunya silaturrahmi tetap terjalin. Bukan tentang cuek dan saling menjauh. Keduanya mungkin salah karena merasa paling benar dengan keputusannya untuk menikmati babak baru dan melupakan yang lama. Keduanya mungkin benar karena kondisinya memang tidak dapat bertemu dan semua yang dihadapi sudah tidak lagi sama.
Jejak masa lalu mungkin tak akan memudar dalam jangka waktu sepuluh tahun. Karena jejak di hutan saja membutuhkan waktu yang lama untuk pudar dengan bantuan angin dan pijakan kaki lain.
Tepat di tengah fokusnya, gadis itu merindu
Bukan merindu sosok,
Bukan pula merindu masa,
Ini merindu kehadiran seseorang
Siapapun itu,
Tentang kehadiran yang mampu mengalahkan ke-aku-an
Menciptakan kepercayaan
Menghilangkan kecurigaan
Mengajarkan pelajaran tentang kehidupan
Atau jika tidak, hadirnya mampu menyadarkan hati nurani yang lelah terlelap
Semua tak lagi sama
Waktu terus berjalan, mengikis usia yang tak lagi muda
Mendekati limit menuju nol
Berdiam diri dan merenung berkepanjangan bukan lagi jalan
Jika dia harus kembali, mungkin dia akan berpikir berkali-kali
Atau dialog panjang akan dimulai
Untuk menyelesaikan kisah yang tak pernah benar-benar diakhiri
Entah apa pun akhirannya, setidaknya ada bab penutup
Tugas yang dikerjakan sudah hampir rampung. Meski sesekali merindukan rumah, tapi itu hal biasa. Meski terkadang rindu menerpa. Atau kadang di sela waktu luang, terselip kenangan yang merindu. Itulah rindu, selalu hadir untuk dapat dinikmati dan memberikan hikmah. Di tengah malam yang semakin larut, tak lagi ramah untuk ditemani. Tentang menanti akan menyisakan dilema. Menantikan sesuatu dengan probabilitas tinggi seperti kembali ke kampung halaman dan berkumpul bersama keluarga atau menantikan kondisi yang pernah hadir untuk hadir kembali dalam rasa yang lebih indah. Walaupun menanti bukan sekedar duduk dan menjadi pasif karena menanti dapat menjadi celah untuk meningkatkan kualitas diri.
Hari Senin sudah menjelang. Pagi ini dia bertemu seseorang yang sempat membuatnya kesal di suatu masa. Memberikan kesan buruk akan sikapnya yang agaknya terasa kasar kepada wanita. Dia tiba-tiba menyapa Si Gadis dengan ramah di sebuah perkumpulan. Mengulurkan tangan sambil menanyakan kabar. Meski benci sempat merasuk sedikit, tapi harus diakui bahwa senyum laki-laki itu sungguh manis. Dari penat yang telah melanda beberapa hari ini, belum lagi rindu yang hadir tanpa diundang, senyuman itu ternyata juga mampu memberi sedikit napas untuk stress sedikit melepas ikatannya pada batin. Terima kasih karena sudah melepaskan sedikit sesak di Hari Senin meski dengan cara yang cukup mengejutkan. Mungkin ini terjadi supaya kesan itu dapat berubah dan pertemanan berjalan dengan lebih luwes.
Komentar
Posting Komentar