Menjalani titian demi titian saat rapuh terasa semakin merenggut. Harapan seakan datang dan pergi untuk menguji. Pada berbagai kesedihan dan kesulitan yang kita hadapi, mungkin ini saat terbaik untuk kita belajar dan bersabar lebih lama dari sekedar satu momen.
Dunia tengah disapa pandemi yang dengan ramah dan menusuk mampu mengubah haluan hidup. Pergerakan terbatasi, pikiran terpaksa dibatasi, mimpi terpaksa istirahat sejenak, bertahan harus terus didampingi pada jiwa-jiwa yang mulai memberontak. Kesepian bukan lagi pilihan tapi merupakan hidangan yang harus disantap.
Pedagang kecil mulai merengek, pengemis semakin meronta, pabrik mulai jungkir balik, sementara kebutuhan primer tetap harus dipenuhi. Sayangnya, kita semua memakai hal yang sama tapi tidak punya input yang sama baiknya. Kebutuhan primer menjadi semakin membengkak, sementara penyimpanan mulai berkurang. Semua minta diberi keringanan. Gosip mulai membahana. Iri dan kecemburuan sosial mulai digelorakan. Protes disuarakan tanpa ilmu dan tanpa ingin mengerti. Semua ingin dimengerti tapi kadang tanpa mau mencoba mengerti.
Tidak banyak alternatif,yang dapat dipilih. Mungkin hanya "tetap" atau "tinggalkan","iya" atau "tidak". Logika kadang tertutupi emosi yang tak jernih meracau hingga akhirnya semua memiliki porsi menjadi korban. Ketidakmampuan untuk bertahan dengan tenang menjadikan sebagian kita dikuasai emosi yang ingin diucap dan diarahkan ke manusia mana saja yang dapat dilampiaskan. Solusi yang diberikan menjadi sampah karena otak tak lagi mampu berpikir jernih dan egosentris menjadi satu-satunya yang ingin dipenuhi. Bahkan tak segan mengatakan dan menilai sesuatu bodoh, sekelompok lebih pintar, dan lain sebagainya karena merasa diri paling benar dan paling tertindas hanya karna kondisi berubah dan tak mampu mengatasi sebagai mana biasanya.
Marah adalah sebuah kewajaran, mengamuk adalah pilihan. Tak semua masalah membutuhkan pihak yang disalahkan. Tak semua kata-kata negatif bisa dilampiaskan pada orang-orang yang hanya menjalankan tugasnya hanya karena dinilai mereka mewakili dan harus mengabulkan permintaan atas dasar ketidakmampuan personal. Tak sepantasnya keinginan pribadi dikedepankan dan mengancam pada ketidakpahaman yang dianggap benar. Lucunya, apapun yang dikatakan oleh pendengar yang mendengarkan orang marah akan dinilai selalu tidak tepat. Diam pun menjadi salah. Hanya ada satu pilihan bagi pendengar yaitu bertahan terhadap kata negatif yang terlontar dan berdoa atau membalas dengan api yang lebih besar.
Hari demi hari tetap berlalu, ketika argumen tak dilandasi otak hanya akan menimbulkan masalah tanpa solusi. Amarah yang tidak tepat hanya akan melukai banyak orang. Dan kita kadang tidak mengkhawatirkan bagaimana hal itu nanti akan dinilai oleh Yang Maha Kuasa. Untuk semua pendengar yang sedang lelah, istirahat sejenak atau katakan apa yang diinginkan karena kita punya kapasitas yang perlu dipugar berkala. Jika tidak memungkinkan untuk kita dipahami oleh orang lain, maka mari kita pahami diri kita sendiri karena pada akhirnya kita pun akan mati sendirian dan hidup terus bergulir dengan atau tanpa ocehan mereka yang ingin dipahami.
Dunia tengah disapa pandemi yang dengan ramah dan menusuk mampu mengubah haluan hidup. Pergerakan terbatasi, pikiran terpaksa dibatasi, mimpi terpaksa istirahat sejenak, bertahan harus terus didampingi pada jiwa-jiwa yang mulai memberontak. Kesepian bukan lagi pilihan tapi merupakan hidangan yang harus disantap.
Pedagang kecil mulai merengek, pengemis semakin meronta, pabrik mulai jungkir balik, sementara kebutuhan primer tetap harus dipenuhi. Sayangnya, kita semua memakai hal yang sama tapi tidak punya input yang sama baiknya. Kebutuhan primer menjadi semakin membengkak, sementara penyimpanan mulai berkurang. Semua minta diberi keringanan. Gosip mulai membahana. Iri dan kecemburuan sosial mulai digelorakan. Protes disuarakan tanpa ilmu dan tanpa ingin mengerti. Semua ingin dimengerti tapi kadang tanpa mau mencoba mengerti.
Tidak banyak alternatif,yang dapat dipilih. Mungkin hanya "tetap" atau "tinggalkan","iya" atau "tidak". Logika kadang tertutupi emosi yang tak jernih meracau hingga akhirnya semua memiliki porsi menjadi korban. Ketidakmampuan untuk bertahan dengan tenang menjadikan sebagian kita dikuasai emosi yang ingin diucap dan diarahkan ke manusia mana saja yang dapat dilampiaskan. Solusi yang diberikan menjadi sampah karena otak tak lagi mampu berpikir jernih dan egosentris menjadi satu-satunya yang ingin dipenuhi. Bahkan tak segan mengatakan dan menilai sesuatu bodoh, sekelompok lebih pintar, dan lain sebagainya karena merasa diri paling benar dan paling tertindas hanya karna kondisi berubah dan tak mampu mengatasi sebagai mana biasanya.
Marah adalah sebuah kewajaran, mengamuk adalah pilihan. Tak semua masalah membutuhkan pihak yang disalahkan. Tak semua kata-kata negatif bisa dilampiaskan pada orang-orang yang hanya menjalankan tugasnya hanya karena dinilai mereka mewakili dan harus mengabulkan permintaan atas dasar ketidakmampuan personal. Tak sepantasnya keinginan pribadi dikedepankan dan mengancam pada ketidakpahaman yang dianggap benar. Lucunya, apapun yang dikatakan oleh pendengar yang mendengarkan orang marah akan dinilai selalu tidak tepat. Diam pun menjadi salah. Hanya ada satu pilihan bagi pendengar yaitu bertahan terhadap kata negatif yang terlontar dan berdoa atau membalas dengan api yang lebih besar.
Hari demi hari tetap berlalu, ketika argumen tak dilandasi otak hanya akan menimbulkan masalah tanpa solusi. Amarah yang tidak tepat hanya akan melukai banyak orang. Dan kita kadang tidak mengkhawatirkan bagaimana hal itu nanti akan dinilai oleh Yang Maha Kuasa. Untuk semua pendengar yang sedang lelah, istirahat sejenak atau katakan apa yang diinginkan karena kita punya kapasitas yang perlu dipugar berkala. Jika tidak memungkinkan untuk kita dipahami oleh orang lain, maka mari kita pahami diri kita sendiri karena pada akhirnya kita pun akan mati sendirian dan hidup terus bergulir dengan atau tanpa ocehan mereka yang ingin dipahami.
Komentar
Posting Komentar