Terkadang kita merasa paling benar. Melihat segala sesuatu dari idealisme sendiri. Padahal idealisme itu muncul karena dipengaruhi oleh pengalaman dan perjalanan hidup yang kita lalui. Kita terlalu sering menutupi hal yang menurut kita tidak penting untuk dikatakan hingga menjadi tumpukan simpanan yang besar dan tak tahu cara mengurainya karena terlalu kusut. Kehilangan kata untuk menjelaskan tentang apa yang ada di kepala hingga suntuk dan tidak dapat diselesaikan.
Kita terbiasa dengan rencana dan jadwal karena kedua hal itu dibuat berdasarkan kebiasaan yang sudah terjadi, tapi ternyata tidak selamanya mampu dijadikan acuan. Hingga akhirnya berada di titik tidak tahu masa depan seperti apa yang diidamkan. Menikmati masa kini pun terasa susah.
Banyak hal yang membuat kita harus berada di persimpangan. Di saat nilai yang kita pegang tidak relevan pada realita yang harus kita jalani. Namun, sebagian dari realita itu bukan sesuatu yang memiliki urgensi dan kepentingan yang berpengaruh. Sehingga kadang kita bingung, apakah tetap menjalankan hal itu sesuai nilai yang dipegang atau mengakalinya karena sesungguhnya hal yang diminta itu pun konyol.
Beberapa orang yang memiliki kuasa menjadikan yang lain sebagai alat untuk menciptakan terobosan. Dulu ketika di sekolah, terutama jenjang sarjana, pikiran kita akan dibentuk untuk merencanakan sesuatu, menganalisisnya, mengetahui dampak yang akan terjadi, dan kemungkinan pengaruh serta keberhasilannya. Setelah masa pembentukan pola pikir tersebut dilalui, ternyata faktor eksternal jauh lebih berpengaruh. Sebagian orang yang memiliki kuasa berpikir bahwa tindakan ini akan membantu memperbaiki keadaan. Mereka lupa bahwa kita tidak bisa mengubah manusia. Mereka berpikir dengan sistem yang ada dan data yang menurut mereka apik, semua bisa selesai tanpa mengabaikan hal penting lainnya. Dalam praktiknya, semua itu seperti kekonyolan yang ditertawakan. Namun, sayangnya, aku juga bagian dari kekonyolan itu. Aku harus menyelesaikannya, tapi jika dilakukan dengan nilai yang ku pegang, akan terlalu banyak waktu terbuang dan aku tahu yang harus kukerjakan ini tidak berdampak signifikan pada tujuan utama yang ingin dicapai.
Kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain, entah itu dimulai dengan tidak sering melihat sosial media, memperbanyak baca buku, meditasi, self-talk, dan lain sebagainya. Setiap orang memiliki caranya masing-masing. Dunia ini menawarkan kita banyak hal, tapi tidak semua itu yang dapat kita pilih secara pasti. Kita terjebak dengan variabel, konstanta, dan kapasitas tertentu. Segala hal tentang manusia adalah rumit. Di saat yang sama, kerumitan itu membawa keindahan untuk dipelajari. Beragam emosi yang muncul dari hal-hal yang objektif, penilaian subjektif yang harusnya dinilai secara objektif, kemampuan memahami yang berbeda, dan lain sebagainya. Hingga saat ini, bahagia pun bukan merupakan tujuan. Dunia tidak dipersembahkan dengan sifat tunggal, sebagaimana contoh sederhana dari Surah Al Insyiroh Ayat 5 : Sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan. Hal yang seharusnya bisa kita terapkan dengan memilah kejadian, emosi, dan tindakan yang terjadi agar tidak memasukan tingkat "terlalu" pada status apapun.
Dalam sebuah film dikatakan bahwa dalam sebuat riset disebutkan : "tertawa lebih baik daripada bersedih, menyanyi lebih baik daripada menangis untuk mempercepat menyembuhkan luka". Dalam praktiknya, bagi sebagian orang ini rumit. Terlalu banyak faktor sehingga susah menentukan single faktor utama yang harus diutamakan. Mungkinkah ada yang mendukung kondisi kita ketika kita bahkan tidak mampu menceritakannya? Lantas, bagaimana caranya agar dukungan itu ada dan kita tidak merasa sendiri?
Komentar
Posting Komentar