Bukan puisi dan rangkaian katamu
yang kunantikan. Bukan kelembutan hati dan tutur katamu yang membuatku berubah
pikiran. Namun, bukan juga luka yang kau tinggalkan. Semua terlanjur hadir
karena ketulusan. Kenangan tentangmu membawa berbagai rasa yang campur aduk. Membolak
balikkan telapak tangan, berulang kali mengedipkan mata seolah semua berlalu
terlalu cepat dan sesaat.
Mencacimu bukan urusanku, karena
terlalu banyak yang mencacimu dan kau acuh tak acuh dengannya seolah hidupmu
paling benar. Terlalu banyak permainan yang kau punya dan tak satupun kau
anggap nyata dalam hidup yang kau jalani. Tak cukupkah makna komitmen yang kau
ajarkan? Atau semua hanya pelajaran semu tak bermakna untukmu dan kau ajarkan
padaku seolah itu benar adanya.
Aku sudah benci dengan adegan
burukmu. Atau aku yang tak pandai membaca peran yang kau mainkan. Aku pun
menyesal pernah menjadi figuran dalam hidupmu. Biarkan aku menghirup udara bersih
tanpa sedikit pun aroma tubuhmu yang masih saja terhirup meski ragamu sama
sekali tidak di hadapanku. Aku bukan lagi udaramu setidaknya itulah perumpamaan
hampa yang kau buat tersanjung. Aku bukan lagi figur, tapi aku hanya patung di
matamu. Kau melihatku tak bergerak dan benar, aku patung karena tidak
melayangkan pandangaku kepada penglihat sepertimu.
Mungkin aku hanya hippocampus yang
mengolah kenangan hidupmu. Dan kau memerintah hippocampusmu untuk mengubah
kenangan itu menjadi short-term memory kemudian membuangku ke lobus yang
bertugas memudarkan kenangan jangka pendek itu dan hilang. Hippocampus yang
bisa mengolah semua, tapi kau mentransformasikannya sesuai kehendakmu. Dan aku
telah mati sebagai kenangan, tak lagi mau menjadi hippocampus yang super hebat
itu karena kau tidak adil dengan memorimu.
Kesimpulan fisikawan mengenai fluks
dan medan magnet benar. Semakin besar medan magnet eksternal yang kau berikan
untuk memainkan permainanmu padaku, maka akan semakin besar gaya internalku
melawan untuk meniadakannya darimu. Arusmu bukan di sekitar kumparanku, maka
tidak ada gaya gerak listrik yang ku hasilkan untuk meresponmu. Kumparanku
dalam keadaan seimbang dan konstan tanpamu, tidak lagi mengalami induktansi
silang karena kini kumparanku tunggal. Kumparan tunggal yang mampu menghasilkan
gaya gerak listrik induksi pada kumparanku sendiri tanpa pengaruh kumparan
lainnya.
Terlalu banyak ilmu pengetahuan yang
secara tidak langsung merepresentasikan realita. Kebebasan menanti jiwa yang
terkurung sepi, menanti waktu dan putusan keadilan hingga terdakwa terbukti dan
membuktikan kalau kebenaran berada di pihaknya. Aku bermain dengan realita
bukan permainan. Aku menganggap semua sebagai keseriusan dan kau menganggapnya
sebagai candaan dan pentas drama sekolah dengan tema yang berganti setiap
tahun, dengan peran yang selalu berbeda. Padahal aku tetap aku dan kau tetap kau
dengan semua tokoh yang tidak mungkin hilang kecuali mereka mati. Tidak ada
peran yang akan selalu hidup dalam drama begitupun permainan. Hanya ada kata
game over atau kau akan selalu lanjut tanpa kemenangan hakiki, dengan
kesenangan nisbi, bersama penghargaan semu yang tak bisa terbukti dan sama
sekali tidak membuktikan kapabilitasmu sesungguhnya. Apa memang ini
kapabilitasmu?
Lidahku menjadi semakin tajam karena
aku selalu meruncingnya untuk menorehkannya kepadamu. Inderaku semakin kuat merespon
sensor dan kau adalah sensor yang menguatkan indera-inderaku. Memancingnya untuk
segera mengenyahkan semua jejak yang tersisa. Membungkam suara yang dulu selalu
berbunyi, mengkaburkan pandangan pada rona wajah cerah dan kini menggelap. Energi
tidak akan habis, tapi bertransformasi menjadi bentuk lain. Setidaknya teori
ini benar. Energi kasih sayang yang terpendam dulu berpendar menjadi kebencian
yang menusuk karena tingkah busukmu. Pecundang ulung, perompak kelas teri,
penipu jalang, dan kedokmu sudah terbuka jelas.
Tak satu pun ku sesali. Justru aku
bersyukur mengenal bentuk manusia layaknya dirimu. Mengenal manusia yang suka
mencaci, bermain hati, dan melucuti ucapanmu sendiri. Aku tak lagi buta karena
kau tidak sebesar yang dulu aku lihat, yang bisa menghalangiku dari pemandangan
lainnya. Ketika hati tak lagi mampu mencicipi kenangan dan pikiran berusaha
menjernihkan memori, saat itu pula energy internal akan bekerja ekstra. Dan aku?
Ya, aku sudah bekerja ekstra untuk meminta hippocampusku membunuh memori
panjangku tentang manusia bernama “kau”. Membuka kembali cakrawala baru dengan
pintu yang berbeda. Menjelajah realita dan mematikan permainan, membawa canda
dalam tangis, mengundang haru dalam bahagia, melepas senyum dari keikhlasan,
menegakkan kepala dari keraguan, menghilangkan pesimis dari usaha, dan berjalan
melampaui batas menuju destinasi terbaik untukku dan orang yang selayaknya
menerimanya.
Komentar
Posting Komentar