Aku tidak pernah tahu apa definisi beruntung karena rasanya apa yang terjadi padaku bukan sebuah keberuntungan. Di saat aku mencoba menganalisis apa yang salah justru aku semakin merasa bersalah. Aku tahu apa yang mau kucari tapi tidak tahu harus memulainya dari mana.
Aku benci sebagai manusia kadang memiliki rasa iri. Namun, di saat yang sama iri memberikan pelajaran untuk bersyukur lebih banyak. Di beberapa kesempatan, justru iri memberikan kesedihan yang lebih panjang dari syukur.
Hari ini aku tidur lebih lama dari biasanya. Tadi malam aku berolahraga lebih keras dari yang pernah kulakukan hingga hampir menyiksa diriku sendiri. Aku semakin takut dengan realita. Semakin enggan dengan kenyataan yang sudah amat aku mengerti. Aku takut terluka jika aku mendekat pada sesuatu, tapi aku juga merasa sangat hampa di saat yang sama.
Kata mereka yang sudah hidup lebih lama "Welcome to Quarter Life Crisis". Bahkan usiaku belum mencapainya tapi krisis ini sudah datang mengawali. Hilang kepercayaan diri, semakin ragu mempercayai orang lain, takut tidak pernah ditakdirkan untuk dicintai, takut mati dibunuh kesendirian.
Aku seperti ini bukan karena terlalu idealis. Aku menjadi seperti ini karena kenyataan yang kuhadapi sudah sangat beragam bagaikan hantaman hingga aku membuat benteng untuk melindungi diriku sendiri. Bahkan untuk menangis saja aku sulit. Tak ada yang bisa mendengarkan dan memahami rasaku, pedih, luka, dan sakit yang sudah kusimpan terlalu lama.
Aku sudah kehilangan kehadiran teman-teman baikku yang juga telah membuat sisi lain dariku hilang akibat ketiadaannya. Bersemangat untuk melakukan aktivitas, mengunjungi dan melakukan hal-hal baru, teman yang tidak mager, tertawa keras dan juga menangis sekerasnya. Semua hilang dan berganti fase. Kini hanya ada aku yang flat, tidak mampu menangis, tidak mampu bercerita, mager, dan penuh kesedihan.
Meski terlihat kufur, kadang aku mempertanyakan kenapa harus aku yang tersisa sendiri di saat orang lain selalu memiliki orang yang dapat dijadikan sandaran di dunia. Apa aku yang tak pernah pantas untuk disayangi dan dicintai. Atau aku memang ditakdirkan untuk sendiri bahkan tidak untuk kehadiran keluargaku sendiri yang ada tapi terasa tak asa. Atau ini memang ujian bagiku.
Aku kebal dengan singgungan, tapi tidak pada kesedihan yang diakibatkan olehnya. Aku semakin tidak tahu cara menghadapi hari. Aku semakin tidak tahu bagaimana cara mencintai bahkan untuk diriku sendiri. Aku semakin tidak mengerti jalan mana yang harus kutempuh. Ingin rasanya aku mengakhiri ini semua tapi aku tidak menemukan jalan yang baik dan boleh ditempuh. Aku tidak punya pilihan selain tetap berkumpul dengan semua rasa, mengalihkan, lalu membiarkannya membesar hingga hampir membunuhku.
Aku tahu Tuhan ingin aku mampu melewatinya tapi kenapa rasanya aku semakin tidak mampu sendiri dengan semua ini. Aku tahu dan yakin Dia dan hanya Dia yang ada untukku tapi kenapa kadang aku masih dipenuhi kepedihan. Setiap hari aku selalu berusaha menjaga tutur kata dan sikapku karena di situ terselip sedikit harapan jika memang orang baik menemui ajalnya lebih cepat maka aku tak keberatan. Meski aku tahu amalku tidak sebanyak itu.
Aku kehilangan kata atas apa yang kuinginkan. Aku kehilangan orang-orang yang pernah kuingin hadir di hidupku hingga satu-satunya yang kusadari hanya aku. Aku bersama inginku memiliki cinta dan kekuatan menghadapi kenyataan yang semakin rumit, tapi justru pikiranku yang semakin berantakan. Hingga akhirnya aku tak tahu lagi kepada siapa aku bisa bercerita.
Aku tidak tahu harus bagaimana karena sejak kecil hanya ada diriku yang menentukan mau bagaimana dan melakukan apa. Sekarang aku bahkan tidak punya jawaban dari sekedar apa yang akan aku lakukan satu jam ke depan.
Komentar
Posting Komentar