Kacau, kata meracau tanpa arah. Emosi
berkecamuk menyayat hati. Bukan lagi perkara benar atau salah. Masihkah
hadirnya memberi arti. Jika kupu-kupu lelah
mencium bunga, maka keindahan mana yang terjaga sepanjang
masa. Jika air mata sudah muak bercerita, maka
apa lagi yang akan bercerita, Lelah.
Dusta memakan
harumnya kejujuran. Melepas racum yang seolah menyakiti jiwa
perlahan. Hingga mata tak lagi melihat jalan lurus. Melainkan
persimpangan bercabang, risau untuk dipilih.
Manusia mana yang
rela mencicipi anggur. Yang dengannya diselipkan pedihnya sebuah
duri. Lekat keindahan terbungkus kulit. Hingga
lidah terjerat, jera, gema berteriak, aduh.
Seandainya retensi
tak terbuka lalu terkunci. Jiwa akan bebas beterbangan, tak ada yang
menetap. Kini biarlah derasnya hujan coba padamkan
api. Hingga kayu masih punya bagian untuk
diselamatkan.
Setelah
sekian lama kita tidak bertemu, akhirnya kita memiliki kesempatan untuk kembali
melirik, mungkin dua tahun lamanya. Sempat setahun sebelumnya, kamu kembali
menghubungi untuk sekedar basa basi yang masih terkait dengan keputusanmu. Ya,
semua masih saja tentangmu, belum tentangku.
Pada
waktu yang sudah berlalu, setengah proporsi untuk kebencian dan sayangku mengadu
di hadapanku saat wajahmu muncul. Lucunya, kita sempat berdebat ringan karena
aku mencoba menegakkan keakuanku. Pada keramaian ini, aku bisa melihat gerakmu
untuk mencoba kembali menyapa gerakku pada manusia lainnya. Namun, ketika gerak
kita bertemu, percakapan yang kamu sampaikan sungguh tidak menarik. Meski
disayangkan, tapi aku masih mengingat dengan jelas responmu saat aku sedang
bercengkrama dengan teman lelaki lainnya. Mungkin saja kalimatmu itu merupakan
ejekan atau mungkin ada sedikit bumbu cemburu.
Akhirnya, ku akhiri
malam pada kata yang sempat kuingat. Jika esok tak lagi bergeming. Indahkan
malam ini bersama sapaan sang bintang. Jika
kenyataan enggan memberi intip. Sadarkan logika
untuk bekerja dengan Nurani.
Gusar tiada tara
menyapa. Di balik kilasan cahaya yang menyelinap. Sapalah
aku sebagai bagian darimu. Yang pernah kau hindari. Di
balik puluhan tatap di keramaian,
Hanya ada satu tatapan yang kunanti. Untuk
menatap kembali bola mata yang telah menanti. Sapa
dan hangatnya pertanyaan.
Tempat ini terlalu
ribut. Setengah mati telingaku mencoba mendengar. Suaramu
yang lama tak terdengar. Tak mungkin lagi logikaku untuk menakar
suaramu. Di tengah perkumpulan ini, Kita
dipertemukan kembali. Walau enggan langkah kakiku untuk mendekat. Walau
enggan lidahku mencipta pertanyaan.
Namun, ketahuilah
bahwa mataku mencuri. Celah pandangan untuk
sekali lagi. Bahkan seterusnya melihat hadirmu. Untuk
pertama kali setelah sekian lama. Visual
yang ditampilkan oleh pakaianmu, Berbeda sejak bertahun-tahun
lalu. Hanya ada satu hal yang sama. Tatapan
matamu yang tetap tajam.
Jadilah malam ini
membisu. Cahaya yang remang
di sudut sana seolah mencibir keakuanku. Puluhan
warna suara mengolok-olok. Di penghujung pertemuan ini, tak
ada sapa yang kita mulai. Atau kita
ini memang selesai. Jangan biarkan aku berdosa karena memutus
silaturrahmi.
Seharunya aku tahu, karena
di pergantian hari saat semua pulang, ternyata
kamu menyelinap. Mencari kata untuk akhirnya kembali
bercakap-cakap. Dan aku anggap percobaan itu sebagai suatu kegagalan.
Sayang,
aku merindu sesuatu yang tak pernah kumiliki
Bahkan
maksud sayang yang kusebutkan itu adalah "disayangkan"
Tidak
ada lagi kata-katamu yang meremehkan tapi memantik semngat jiwaku
Tak
mengapa, meski kita jauh, aku kini lebih
pandai menata hati dan memerbaiki diri
Bukan
karena aku belum berpaling melupakanmu,
Hanya
saja aku tidak merasakan sepertimu atau lebih darimu
Menyedihkan
memang, tapi aku tahu bahwa aku pantas mendapatkan yang lebih baik darimu Untukmu yang pandai menyemangatiku dengan
sisa-sisa tulisanmu untukku....
Komentar
Posting Komentar