Sekuat apapun aku mencoba melepas bayang
kehadiranmu, sesulitnya aku mencoba mengikhlaskan. Dalam bayangan senja yang
datang menutup hari, aku menghela napas sembari terkadang melepas sisa rasa
yang ada untukmu. Perbedaan jarak dan kondisi memang
tidak dapat kumengerti sepenuhnya. Dalam rasa yang terambang, aku meraba.
Aku
paham bahwa kata apa kabar dariku mungkin tak bermakna. Sulit rasanya jariku
untuk mengirim pesan itu padamu. Hingga akhirnya mencari alasan yang tepat
merupakan aktivitas pelik yang harus kuhadapi setiap detiknya.
Ku
kira kamu sudah berkembang dengan lingkunganmu yang baru. Mungkin pada akhirnya
semua berakhir. Jeruji yang tak bisa kulepas sebelumnya. Ceritakan
aku tentang alasanmu. Sebab kata-katamu tak lagi bisa kupahami
sebagai alasan. Titipkan tanyaku pada angin.
Karena kalimatku lelah
kamu abaikan. Jauh terasa sangat jauh. Lepaskan
belenggu. Aku mencapai retensiku. Melepasmu
pergi dengan sesungguhnya pergi. Lepaskan jurang
yang hampir kutelusuri karenamu. Jagalah dirimu
baik-baik. Karena mungkin memang tak pantas untuk aku
menerima alasanmu. Tak pantas untukku jika aku tetap di sini. I
deserve more than you.
Aku masih mencoba. Menikmati
peran yang diberikan padaku. Telinga untuk mendengar banyak. Di
setiap sudut bibir yang mengeluhkan atau sekedar bercerita. Aku
sendiri dan mulut yang berkisah sudah akan berpasangan
dengan pilihannya. Perjuangan cerita mereka. Suka
duka dan rasa penuh kasih. Sementara tak ada satu pun yang
benar-benar kurasakan. Nafsuku terlalu menggebu untuk bisa merasa. Menahan
keinginan untuk meleburkan kebekuan hatiku. Mencairkan
air mata yang tak pernah lagi ingin dijatuhkan. Setiap
kali dan akhirnya membuatku merasa.
Aku takut pada
kebosanan sehingga mencipta berbagai mimpi. Mimpi
duniawi yang ingin kulakukan. Agar aku bisa
benar-benar melupa rasa jika memang belum waktunya. Kata
seseorang, perjuangan bukan hanya di pihak lelaki. Namun,
bagaimana jika sebagai wanita tak satu pun menarik. Menarik
rasa penasaranku, mati. Ingin beranjak tapi berat mencipta jalan
yang belum tersedia.
Aku sudah sepenuhnya lelah dianggap tak ada. Aku
benci kata butuh kalau pada akhirnya harus pergi karena
sudah tidak butuh. Aku lelah
dengan kata lelah yang akhirnya membuat orang
menghilang. Aku bosan dengan kata bosan yang membuat
orang berhenti menggunakan logika dan memikirkan keberadaan orang lain. Aku
muak dengan kata muak karena kata itu seperti perpisahan yang dibuat tanpa
kesepakatan.
Aku adalah aku
yang entah mengapa masih mencoba menerima seburuh apapun kata yang keluar. Dan
kamu adalah kamu yang cukup ada tanpa pernah merasa aku ada. Sedangkan
kita adalah kata yang tak mungkin berujung untuk aku dan kamu karena bagaimana
menjadi kita kalau tak satu kata pun pernah disepakati oleh mulutku dan mulutmu.
Entah hal apa yang
membawa ingatanku padamu. Mungkin suasana senja sore ini yang
menggoda. Di tengah keramaian, aku mencoba mengingat
beberapa hal. Hal-hal yang membuatku dapat tenang
sejenak dari beban-beban pikiran. Aku
teringat masa yang memberiku ruang untuk belajar, menikmati rasa, dan sedikit
bermain. Sendiri, aku terduduk di salah satu sisi. Merebahkan
badanku yang lelah berlari mengelilingi trek lapangan
ini. Memandangi langit dan kembali mencoba
mengingat. Namun, entah
mengapa ingatan tentangmu tak
mampu terlewati. Masih dengan jawaban yang dengan lekat kuingat. Jawaban
dari pertanyaanku yang selama ini kupertanyakan dan pada
waktu itu, aku beranikan bertanya.
Tiga
tahun setelah merelakan, aku merasa sudah melupakanmu dan tak ada yang
tersisa. Tak lagi ada keinginanku untuk memperbaiki hubungan kita meski masih
ada satu pertanyaan yang masih ingin aku ketahui jawabannya. Tiga tahun dengan
bayanganmu membuatku mengerti mengikhlaskan dan menghilangkan benci. Aku
mencari hal lain dan berkelana ke daerah lain. Menggunakan masa muda yang masih
tersedia untuk hal yang lebih berharga sehingga nanti dapat kukenang.
Malam
itu, aku beranikan diri menghubungi kembali walaupun pada beberapa bulan
sebelumnya kita dipertemukan kembali dalam sebuah pertemuan. Pertemuan itu
cukup untukku membuktikan usahaku selama ini dan menguji keikhlasan hati.
Bertemu denganmu dan memberanikan diri untuk bertanya tentang kesibukanmu serta
tentang hal yang akan kulakukan dalam waktu dekat. Sayangnya, aku tak mengerti
kenapa pada malam itu, kamu justru menghindar dari keramaian.
Kamu pergi
pada salah satu sudut dan sibuk bermain dengan hpmu. Mungkin ada pekerjaan
penting yang harus kamu selesaikan. Dalam perbincangan singkat kita, sebenarnya
aku gelisah dengan jawaban-jawabanmu yang mencoba melakukan perbandingan pada
nasib kita berdua. Seolah kamu tidak puas dengan apa yang kamu jalani saat ini.
Aku selalu percaya bahwa kita memiliki jalan kita masing-masing. Jika bisa aku
deskripsikan percakapan kita malam itu, mungkin kurang lebih seperti di bawah
ini.
Aku : “Hey, sibuk aja dengan hpmu. Gabung gitu dengan
yang lain.”
Kamu : “Iya, ini lagi ada yang harus diberesin di kos.”
Aku : “Kalian sudah selesai UAS?”
Kamu : “Itulah, belum lagi. Kami libur dulu baru UAS.
Kalian udah ya? Enak lah ya. Ohiya, kemarin kamu tanya tentang perusahaan itu
untuk apa?”
Aku : “Ooh, aku berencana kerja praktek di salah satu
perusahaan di kotamu. Kebetulaan ada temanku yang juga orang asli sana.”
Kamu : “Enaklah ya, kalian ada praktek-praktek gitu, kami
ga ada. Kalaupun ada, ga wajib dan ga diurusin. Jadinya, dapatnya KP di mana?”
Aku : “Kemarin itu, aku juga ngajuin proposal di
perusahaan kertas di sini, tapi lama banget ga dapat balasan. Akhirnya aku cari
lagi dan dapat di pabrik industri hulu gitu di sini juga. Kamu rencana lulus
kapan?”
Kamu : “Tahun depan insyaAllah. Memang kamu kapan?”
Aku : “Aku sedang cari topik juga sih sekarang. Kalau
nanti ketemu dan bisa selesai semester ini, kayaknya aku selesaikan semester
ini. Kalau di tempatmu memang gimana?”
Kamu : “Ya biasanya empat tahun gitu lah, cuman ya gitu,
ga ada praktek, jadi agak kurang gitu implementasinya.”
Aku : “Yaudah, yok, gabung sama yang lainnya di sana.”
Mungkin
seharusnya kita dapat membahas dan menanyakan tentang kabar kita masing-masing.
Namun, terasa sangat aneh dan sulit. Sama sekali kamu tidak melihat padaku
ketika percakapan itu kita mulai. Entah karena ada rasa minder atau apapun itu,
yang jelas aku tak dapat menerka prasangka.
Sewindu, aku
mengetahui sosokmu. 2 tahun untuk cukup tahu tanpa ingin tahu. 3
tahun untuk mengenalmu dalam, mendengar kisahmu, menemani, dan banyak hal yang
tak dapat kutuliskan dengan kata-kata. 3 tahun
untuk mempertanyakan perpisahan dan perubahan. Sesekali
merindu, sesekali membenci, dan penuh warna lain. Genap
sewindu, cukup. Mungkin ini maksud kalimat:” Enough is
enough”. Entah sampai kapan, inspirasi kata-kataku
masih berawal karenamu. Bukan karena aku bodoh, menyimpan rasa
untuk seseorang yang tak lagi kukenal. Namun,
karena aku ingin menceritakan semua rasa. Hingga
aku tak lagi punya kata untukmu.
“Kamu baik padaku” Pernyataanmu yang menjawab salah satu
tanyaku pada chat beberapa bulan setelah pertemuan kita itu. Mungkin
aku akan terus mengingatkanmu tentang luka masa itu jika aku tetap melekat di
harimu. Mungkin memang itu alasanmu. Aku
masih mengingatmu sebagai sejarah. Aku tak
berharap akan mengingatmu sebagai masa depan. Waktunya
sudah genap dan aku rasa ini semua benar-benar akhir. Semoga
hidupmu selalu menjadi lebih baik. Jawabanmu saat itu
cukup membuat pertanyaanku terjawab, meski tak seutuhnya.
Selamat tinggal,
selamat menikmati masa depanmu. Terima kasih untuk
jawaban-jawaban atas tanyaku. Terima kasih untuk
masih menerima kata rinduku masa itu. Terima
kasih untuk tidak membalas pesan-pesanku sehingga aku yakin. Terima
kasih atas petunjuk yang terisyarat. Aku tak tahu
apakah nanti aku masih ingin bertemu. Aku tak
ingin bertemu saat ini. Tak ingin lagi mencipta tanya meski
mungkin kita akan dipertemukan. Sekedarnya,
izinkan aku untuk memperkenalkan kata-kataku pada publik. Sebab
aku tak tahu ada berapa puisi yang tercipta karenamu.
Terbaring
melepas bingung
Insomnia
menghantui malam
Menghalau
mataku untuk tidur
Ketika
jalanku hilang, diriku kembali
Bukan
lagi tentang lelaki
Namun,
ini tentang aku
Yang
menemukan sesuatu berharga
Setelah
benar-benar melepaskan
I’ll
See You
I
see you when I see you, the fact is we
never see each other since that day
Truly
I have to say impossible for us to collaborate again,
Making
impact to the world we choose
Your
way isn't same as the way I walk because you also choose not to discuss it with
me
Not
looking the stars as we used to define it's pretty
Someone
told me that I deserve more
I
don't need to regret even a thing
I
just need to make it up as the first time we met
So,
I can feel nothing about you and turn off all memories until I find the new one
You're
history that won't come back, but you're
written on my text book.
Komentar
Posting Komentar