Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

Hampir Menyerah

Alur hidup dihadirkan berbeda pada orang yang berbeda. Rasanya tidak ada yang mudah dalam hidup. Meski hidup kadang berjalan baik-baik saja dan sama saja dalam waktu yang lama, bukan berarti tidak ada kegelisahan yang dirasakan. Bangun di akhir pekan di pagi hari tapi tetap di atas kasur untuk waktu yang lama. Tidak tahu ingin melakukan hal apa lagi. Kehilangan ketertarikan dalam beraktivitas karena tidak ada hal baru. Tidak ada pergerakan untuk fase hidup berikutnya membuat bosan justru datang menghampiri. Smartphone, social media, dan segala aplikasInya tidak lagi dapat menghibur. Pekerjaan berjalan seperti biasa dengan dinamika yang sudah dapat dilihat. Seminggu mengalami penurunan kondisi fisik dan kesehatan mental yang datar, tanpa semangat.  Hari minggu dibuka dengan menonton CNN, segelas kunyit asam, dan selimut yang menjadi satu-satunya untuk dapat dipeluk hangat. Ternyata untuk sekedar bertahan menjadi positif dalam hidup saja sudah susah. Tiada cinta yang hadir, hanya kehidup

Dewasa

Hidup ini mengajarkan kita banyak hal. Semakin tinggi keinginan dan mimpi kita, semakin kompleks hidup yang akan kita jalani ketika sudah meraihnya. Sama halnya dengan perasaan tidak pernah puas, akan mencipkatan cabang permasalahan lainnya atas ketidakmampuan menerima kegagalan atau sesuatu yang belum tercapai.  Saya rasa, kompleksitas ini sejalan dengan semakin besar lingkungan dan hubungan yang kita punya, maka semakin kompleks tali relasi yang akan berkaitan. Semakin banyak perasaan yang tidak dapat kita kendalikan. Semakin kompleks reaksi yang kita terima, baik karena aksi yang kita keluarkan atau reaksi mereka atas orang lain yang akhirnya berimbas pada kita sendiri.  Manusia dewasa tak selamanya menginginkan kedewasaan. Meski saat dewasa, rasionalitas dalam otak manusia sudah terbentuk, tapi tanpa sadar akan memunculkan jiwa kekanak-kanakan sebagai perwujudan dari kebebasan yang terpendam dalam lobus korteks yang tersimpan dalam. Kita kadang tidak sadar berlaku seperti itu, tapi

Koordinasi

Memberikan respon terhadap sesuatu ternyata melalui proses koordinasi yang cukup kompleks jika dijelaskan. Sama seperti halnya anggota tubuh. Ketika seseorang ingin mengendarai kendaaran, maka dibutuhkan koordinasi dan sinkronisasi antara otak, tangan, kaki, mata, dan pendengaran. Jika salah satu tidak berada dalam posisi fokus, maka akan memungkinkan terjadinya kecelakaan.  Ketika kita berkomunikasi dengan manusia lain, akan terjadi aksi reaksi, mendengar dan merespon. Namun, kadang antara otak dan mulut terjadi salah koordinasi yang dapat menyebabkan sakit hati atau salah paham oleh pendengarnya. Padahal seharusnya informasi tersebut dicerna terlebih dahulu dan memikirkan respon yang tepat. Sering juga, kita menghabiskan kapasitas pikiran dan energi untuk mengomentari perilaku yang tidak menyenangkan padahal komentar yang dilontarkan tidak akan merubah apapun. Mungkin karena banyak yang merasakan hal yang sama sehingga membahas ketidaknyamanan itu menjadi menyenangkan. Mungkin kita s

Jadi, Ini adalah Fase atau Takdir?

Terkadang kita merasa paling benar. Melihat segala sesuatu dari idealisme sendiri. Padahal idealisme itu muncul karena dipengaruhi oleh pengalaman dan perjalanan hidup yang kita lalui. Kita terlalu sering menutupi hal yang menurut kita tidak penting untuk dikatakan hingga menjadi tumpukan simpanan yang besar dan tak tahu cara mengurainya karena terlalu kusut. Kehilangan kata untuk menjelaskan tentang apa yang ada di kepala hingga suntuk dan tidak dapat diselesaikan. Kita terbiasa dengan rencana dan jadwal karena kedua hal itu dibuat berdasarkan kebiasaan yang sudah terjadi, tapi ternyata tidak selamanya mampu dijadikan acuan. Hingga akhirnya berada di titik tidak tahu masa depan seperti apa yang diidamkan. Menikmati masa kini pun terasa susah.  Banyak hal yang membuat kita harus berada di persimpangan. Di saat nilai yang kita pegang tidak relevan pada realita yang harus kita jalani. Namun, sebagian dari realita itu bukan sesuatu yang memiliki urgensi dan kepentingan yang berpengaruh. S

Tentang Dinata

Namanya Dinata. Dia menikmati dunia dari sudut pandangnya sendiri. Tidak peduli bagaimana sekelilingnya mencoba meracuni pikirannya dengan perspektif mereka. Mungkin bagi sebagian orang, hidupnya datar, terlalu fokus, serius, dan berat. Namun, dirinya punya prinsip kuat yang masih dia pegang hingga kini. Sebagian lain memandangnya rendah karena di usianya yang sudah matang, tidak pernah sama sekali ia menjalin hubungan khusus dengan lawan jenisnnya. Bukan karena dia tidak pernah jatuh cinta, hanya saja baginya cinta tidak semudah itu. Tidak perlu pula dia menjelaskan apakah ia pernah merasakan jatuh cinta kepada orang lain. Baginya, jatuh cinta tidak harus diukur dengan status yang pernah terjadi. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk dia mengatasi masalah ini. Kini kesendirian dan kemandirian yang dia miliki diakui sebagai masalah. Sebagaimana seseorang pernah berkata : "Masalah itu bukan masalah selama tidak dianggap sebagai masalah". Sekelilingnya sudah menemukan dunia lai

Bunga

Bunga itu bermekaran. Dihinggapi kumbang beraneka ragam pada bentuknya yang apik. Namun, tidak dengan bungan yang ada di ujung taman itu. Bentuknya tidak kalah cantik, berada di sudut taman yang bersih dan tidak banyak dipegang manusia. Namun, kelihatannya ia selalu sendiri. Meski matahari cukup menyinarinya, kadang terik tak terasa karena teduh dari sekeliling. Sebelumnya bunga itu bukan di taman tersebut. Ia berasal dari taman lainnya yang berada sekitar 50 km. Karena bentuknya yang cantik dan adanya taman yang butuh bunga bagus, dia dibawa ke taman ini. Menghiasai dan melengkapi koleksi bunga di taman ini. Pernah suatu waktu, tukang kebun di taman tersebut mengajaknya bicara. Tukang kebun : "Bentukmu bagus, tapi sayang tidak banyak yang benar-benar mengagumi indahnya dirimu" Bunga (di dalam hati) : "Aku tidak paham juga. Apakah kebanyakan memang tidak pernah tentang aku atau aku yang tidak pernah sadar bahwa beberapa hal tentang aku memang berbeda" Tukang kebun :

Krisis

Birunya langit tak pernah sama. Dalam hitam dan putihnya lembaran hari, tak kunjung juga membuat manusia mampu menentukan dengan pasti terkait langkah apa yang akan didapat. Saat menjadi anak-anak, rasanya menyenangkan menjadi dewasa. Saat dewasa, justru terlalu banyak hal yang membuat bingung. Dulu kukira kebebasan dapat menyembuhkan luka dan menjawab celah besar yang tak terisi. Berkelana mencari cara hidup, melihat dunia dan menjelajah, mencoba mencari penglihatan yang luas. Seiring waktu berjalan, luka perlahan sembuh. Pertanyaan perlahan terjawab. Dunia luas yang ingin dilihat perlahan terbuka. Namun, ternyata dunia yang luas tidak mampu memberikan kebahagiaan. Tidak hanya dalam penelitian yang membutuhkan batasan dan asumsi, ternyata dalam menata hidup pun perlu batasan. Batasan menentukan kemampuan diri. Batasan dunia yang ingin dijalani ke depan. Sebagian mengatakan, jalani saja hidup. Tapi, untuk orang-orang yang visioner menjadi sebuah masalah besar ketika tidak bisa menentuk

Manusia dan Luka yang Membentuknya

Sepertinya mengenal seseorang dari luka dan latar belakang ia tumbuh mampu membuat kita paham tentang dirinya. Luka dan liku kehidupan yang ia jalani membentuk dia yang saat ini. Manusia selalu punya pilihan untuk menjadikan luka sebagai alasan untuk berkembang atau justru menjadi aneh tak terkendali. Namun, memang tak semua karakter berkembang karena luka, tapi juga bisa dari hasil pengamatan dan olah informasi yang dilakukan oleh setiap individu. Sayangnya hal tersebut hanya memberikan gambaran dari luar. Inilah yang sering kali membuat saya tertarik untuk mendengar. Dengan mendengar, saya mampu mendapat wawasan baru, membantu mereka menggali alasan dan kejadian fundamental yang mempengaruhi kondisi dan perspektif mereka saat ini. Meski senang mendengar, justru menjadi sulit untuk bercerita. Beberapa tahun terakhir, saya sibuk mencari alasan untuk menikah. Namun sekarang, setelah saya membaca banyak referensi, berbagai pertanyaan menjadi muncul. Apakah saya terlalu berpikir secara lo

APAKAH KARENA PANDEMI?

Dunia semakin menggila. Berbagai kenyataan mulai hadir secara beragam. Waktu semakin berjalan, ambisi tak lagi seperti dahulu. Pandemi mengubah segalanya. Mengubah pola pendewasaan pada masyarakat. Menjadikannya sebagai alasan pembenaran pada berbagai peristiwa yang berada di luar norma benar dan salah. Sementara masyarakat bergerak, susah dan payah untuk bertahan, sebagian lain ada yang mampu melihatnya sebagai kesempatan. Politik mencampuri komoditas bahan pokok. Idealisme menjadi rancu karena situasi terlalu cepat berubah dan meminta untuk adaptasi.  Terkait percaya, sebagian meyakini jangan percaya pada orang lain selain diri sendiri. Sebagian lain menyarankan untuk coba memberi sebagian kepercayaan. Namun, sepertinya manusia pada zaman ini terjebak dalam hiruk pikuk dunia yang cepat sehingga mereka gemar sekali lupa pada perkataannya sendiri. NANTI, PASTI. Hampir sering terdengar pada telinga ataupun melalui pesan teks WA.  Dengan pekerjaan dan situasi saya yang saat ini sekarang,

Hidup

Aku melihatnya nyala Kadang terlihat padam dan mendung Kadang juga murung Kadang juga tidak mengerti kenapa harus hujan Naik dan turunnya membuat letih Namun, datar juga kadang tidak memberi variasi Aku tidak paham dengan algoritmanya Bahkan hanya untuk satu manusia saja tidak dapat dirumus  Dia terlalu unik Patah dan tumbuhnya bersilih  Tanpa sadar membangun pendewasaan yang tercipta Hanya saja terlalu sulit dipahami Terlalu abstrak tapi beberapa ada rumus penyelesaian Sayangnya tidak ada rumus untuk memprediksinya Hanya sisa-sisa kenangan yang bias Dan harapan yang kadang pupus menjadi debu Diterpa angin, pergi hingga ke arah yang tak dipahami Mengalun pada hening yang bersajak Berdendang bersama suara hewan yang tak saling memahami Mencaci fakta meski tahu dia tidak akan berubah Dia suka sendiri terlalu sering Mengajarkan banyak cerita hingga tak mampu lagi bercerita Tak ada lagi tokoh yang dapat dikisahkan Bosan pada reka ulang yang terjadi dan kisah yang terus diulang untuk diberi

Tentang Kemarin Malam

Ini tidak akan selesai jika tidak dijabarkan dalam kata ataupun gambar. Untuk kesekian kalinya, kebenaran itu hadir tanpa dipaksa. Secara natural, perbincangan selalu mengalir tanpa paksaan. Pertanyaan yang hadir selama ini pun terjawab. Aku kembali patah untuk kesekian kalinya. Kesekian kalinya aku bingung mengkategorikannya. Apakah aku patah karena ada sedikit harapan tentangnya atau hanya sekedar rasa sedih dalam karena hanya aku yang tidak memiliki siapapun, yang ada hanya sementara ataupun untuk masa depan. Atau aku terlalu salah menilai diriku sendiri. Aku mengenal sisi lainnya yang tidak banyak orang tahu dan aku tahu ada seseorang di sisinya serta masalah apa yang membuatnya kian tak berdua secara komitmen. Aku terlalu jauh menyiapkan diri jika aku tidak dapat seperti apa yang kumau. Aku mulai menurunkan ego. Aku membuka diri. Aku menceritakan perjalanan. Semua berujung padanya yang menceritakan bahwa dia sedang berada dalam dekapan seseorang.  Alasan kenapa tidak kunjung menik

TAKUT

 Selalu ada duka yang sulit untuk disembuhkan. Rasa sepi yang semakin menggumun meski ramai dengan tawa. Hanya ada aku dan aku dan hanya aku. Rasanya latihan kemandirian ini selalu bergulir, entah sampai kapan. Sepi dan sepi lagi. Merasa tak pantas untuk merasa sedih dan tidak dalam kondisi baik-baik saja. Pun jika kubiarkan diri, tak ada yang akan peduli. Aku tak butuh banyak, aku hanya cukup satu, tapi rasanya tak kunjung datang.  Aku terlalu takut untuk mengakui ketakutanku. Ketakutan terlihat lemah meski semua pasti tahu. Takut menjadi lemah dan selalu berusaha kuat dengan sendiri meski nyatanya semua hanya tersembunyi. Sulit sekali untuk berekspresi seperti mereka. Entah aku yang tidak mampu bercerita atau aku yang terlalu datar. Adakah masa dan kesempatan untukku merasa dimengerti, ditemani, didengar, dan hal baik lainnya. Entah harus berapa ratus kali menjadi pendengar, tapi tak mampu didengar. Berulang kali menemani tapi berulang kali juga ditinggalkan. Menemukan untuk kehilang