Langsung ke konten utama

Sajak Kebebasan

            Bukan puisi dan rangkaian katamu yang kunantikan. Bukan kelembutan hati dan tutur katamu yang membuatku berubah pikiran. Namun, bukan juga luka yang kau tinggalkan. Semua terlanjur hadir karena ketulusan. Kenangan tentangmu membawa berbagai rasa yang campur aduk. Membolak balikkan telapak tangan, berulang kali mengedipkan mata seolah semua berlalu terlalu cepat dan sesaat.
            Mencacimu bukan urusanku, karena terlalu banyak yang mencacimu dan kau acuh tak acuh dengannya seolah hidupmu paling benar. Terlalu banyak permainan yang kau punya dan tak satupun kau anggap nyata dalam hidup yang kau jalani. Tak cukupkah makna komitmen yang kau ajarkan? Atau semua hanya pelajaran semu tak bermakna untukmu dan kau ajarkan padaku seolah itu benar adanya.
            Aku sudah benci dengan adegan burukmu. Atau aku yang tak pandai membaca peran yang kau mainkan. Aku pun menyesal pernah menjadi figuran dalam hidupmu. Biarkan aku menghirup udara bersih tanpa sedikit pun aroma tubuhmu yang masih saja terhirup meski ragamu sama sekali tidak di hadapanku. Aku bukan lagi udaramu setidaknya itulah perumpamaan hampa yang kau buat tersanjung. Aku bukan lagi figur, tapi aku hanya patung di matamu. Kau melihatku tak bergerak dan benar, aku patung karena tidak melayangkan pandangaku kepada penglihat sepertimu.
            Mungkin aku hanya hippocampus yang mengolah kenangan hidupmu. Dan kau memerintah hippocampusmu untuk mengubah kenangan itu menjadi short-term memory kemudian membuangku ke lobus yang bertugas memudarkan kenangan jangka pendek itu dan hilang. Hippocampus yang bisa mengolah semua, tapi kau mentransformasikannya sesuai kehendakmu. Dan aku telah mati sebagai kenangan, tak lagi mau menjadi hippocampus yang super hebat itu karena kau tidak adil dengan memorimu.
            Kesimpulan fisikawan mengenai fluks dan medan magnet benar. Semakin besar medan magnet eksternal yang kau berikan untuk memainkan permainanmu padaku, maka akan semakin besar gaya internalku melawan untuk meniadakannya darimu. Arusmu bukan di sekitar kumparanku, maka tidak ada gaya gerak listrik yang ku hasilkan untuk meresponmu. Kumparanku dalam keadaan seimbang dan konstan tanpamu, tidak lagi mengalami induktansi silang karena kini kumparanku tunggal. Kumparan tunggal yang mampu menghasilkan gaya gerak listrik induksi pada kumparanku sendiri tanpa pengaruh kumparan lainnya.
            Terlalu banyak ilmu pengetahuan yang secara tidak langsung merepresentasikan realita. Kebebasan menanti jiwa yang terkurung sepi, menanti waktu dan putusan keadilan hingga terdakwa terbukti dan membuktikan kalau kebenaran berada di pihaknya. Aku bermain dengan realita bukan permainan. Aku menganggap semua sebagai keseriusan dan kau menganggapnya sebagai candaan dan pentas drama sekolah dengan tema yang berganti setiap tahun, dengan peran yang selalu berbeda. Padahal aku tetap aku dan kau tetap kau dengan semua tokoh yang tidak mungkin hilang kecuali mereka mati. Tidak ada peran yang akan selalu hidup dalam drama begitupun permainan. Hanya ada kata game over atau kau akan selalu lanjut tanpa kemenangan hakiki, dengan kesenangan nisbi, bersama penghargaan semu yang tak bisa terbukti dan sama sekali tidak membuktikan kapabilitasmu sesungguhnya. Apa memang ini kapabilitasmu?
            Lidahku menjadi semakin tajam karena aku selalu meruncingnya untuk menorehkannya kepadamu. Inderaku semakin kuat merespon sensor dan kau adalah sensor yang menguatkan indera-inderaku. Memancingnya untuk segera mengenyahkan semua jejak yang tersisa. Membungkam suara yang dulu selalu berbunyi, mengkaburkan pandangan pada rona wajah cerah dan kini menggelap. Energi tidak akan habis, tapi bertransformasi menjadi bentuk lain. Setidaknya teori ini benar. Energi kasih sayang yang terpendam dulu berpendar menjadi kebencian yang menusuk karena tingkah busukmu. Pecundang ulung, perompak kelas teri, penipu jalang, dan kedokmu sudah terbuka jelas.
            Tak satu pun ku sesali. Justru aku bersyukur mengenal bentuk manusia layaknya dirimu. Mengenal manusia yang suka mencaci, bermain hati, dan melucuti ucapanmu sendiri. Aku tak lagi buta karena kau tidak sebesar yang dulu aku lihat, yang bisa menghalangiku dari pemandangan lainnya. Ketika hati tak lagi mampu mencicipi kenangan dan pikiran berusaha menjernihkan memori, saat itu pula energy internal akan bekerja ekstra. Dan aku? Ya, aku sudah bekerja ekstra untuk meminta hippocampusku membunuh memori panjangku tentang manusia bernama “kau”. Membuka kembali cakrawala baru dengan pintu yang berbeda. Menjelajah realita dan mematikan permainan, membawa canda dalam tangis, mengundang haru dalam bahagia, melepas senyum dari keikhlasan, menegakkan kepala dari keraguan, menghilangkan pesimis dari usaha, dan berjalan melampaui batas menuju destinasi terbaik untukku dan orang yang selayaknya menerimanya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Penggunaan Zat Adiktif dan Psikotropika Terhadap Aspek Kehidupan

Dampak Penggunaan Zat Adiktif dan Psikotropika  Terhadap Aspek Kehidupan Disusun Oleh: {          Diajeng Anjarsari Rahmadhani {          Kezia Grace Monica {          Kresna Dwiki Ramadhana {          Rashif Imaduddin Lukman KATA PENGANTAR Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmatnya sehingga kami dari Kelompok 1 dapat menyelesaikan makalah mengenai Zat Adiktif dan Psikotropika. Makalah ini kami buat dengan penuh ketelitian dan kami rangkum dari beberapa sumber yang dapat dipercaya.  Makalah ini kami harap dapat bermanfaat bagi pembaca mengingat banyaknya pemanfaat negatif dari zat adiktif dan psikotropika. Dengan adanya makalah ini kami harap kita semua dapat terhindar dari dampak negatif zat adiktif dan psikotropika.Zat adiktif dan psikatrop...

Terjebak Dalam Bayangan

Manusia, oh Manusia Terjebak dalam angan kemungkinan dalam pikirnya Padahal sudah berulang kali dijauhkan oleh-Nya Berlalu waktu, hidupnya tenang dan baik saja Halaman tua sudah ditutup Namun, terganjal saat lintasan bayangnya nyata di mata Bukan ingin mengulang, tapi hanya saja ini tersisa kemungkinan Dibukanya kembali halaman itu Diteliti kembali karena sudah lupa rasa Baru buka satu dua kalimat, ternyata logika menolak Untuk kesekian kali, memori pahitnya mencuat Untuk apa berupaya tapi ternyata hanya give and give Untuk apa mendengar kalau ternyata tidak pernah ada pertanyaan berbalas Ternyata buku lama itu memang diperlukan Dibaca kembali, agar hati tidak menjadi bodoh Evaluasi dapat dianalisis, hingga dirimu tidak lagi jatuh pada angan Yakinlah jalanmu sejauh ini diatur oleh-Nya Dijauhkan dan ditemukan dengan orang-orang yang jauh lebih memahami Maka, manusia, kenapa ragu akan takdir-Nya Kenapa takut akan tidak menemukan padahal jalanmu adalah ditemukan Bacalah jalanmu, sepertiny...

Lewat

 Terjebak dialektika dalam nalar Ditatap nanar oleh sosok diri sendiri Mengharapkan untaian adegan Tentangnya yang nyata tapi tidak merasa Tatapannya merdu untuk jiwa yang haru Sapanya halus seolah sedang mengelus Hingga akhirnya dia tahu  Ternyata mendamba setelah sudah berlalu Tidak ada yang sia-sia Setelah sekian lama dia tetap inersia Akhirnya orang itu muncul, mengusik Memberi ajar untuk berhenti diam Cari tahu ingin diri Beri pandang tentang standar Beri sadar tentang kualitas Bawa sadar pada realitas